"Mas, ini lho Dava sudah berani merokok. Sembunyi-sembunyi bareng temannya," kata seorang tetangga pada saya ketika berkunjung ke Surabaya beberapa waktu lalu. Dava yang dia maksud adalah keponakan saya yang tinggal di Surabaya. Usianya baru 8 tahun.
"Bener ta Va? Kamu wis berani rokokan? Siapa yang ngajari heh?" tanya saya dengan nada geram.
Dava hanya terdiam dan menunduk ketakutan.
"Itu Mas, si Fulan anaknya pak B yang tinggal di gang buntu. Dia sing sering ngajak-ngajak Dava merokok," kata tetangga saya itu menimpali.
"Va, awas lho ya nek masih diteruskan. Tak samblek nanti," kata saya memperingatkan. Dava lalu menggelengkan kepalanya yang masih tertunduk.
Sehari-hari, keponakan saya ini memang minim pengawasan. Kedua orang tuanya, atau kakak saya sibuk bekerja. Praktis, di rumah Dava ditinggal sendirian, cuma ada Ibu saya yang mengawasi.Tanpa pengawasan orang tua, atau orang lain yang bisa ia segani dan takuti, Dava nyaris tumbuh secara bebas. Pengaruh-pengaruh negatif dari luar pun dengan mudah diserap dan ditirunya, termasuk merokok.
Indonesia, Surga bagi Perokok Anak-anak
Kasus yang menimpa keponakan saya ini hanya gambaran kecil dari kian mengkhawatirkannya paparan asap rokok pada anak-anak. Menurut data Atlas Pengendalian Tembakau di ASEAN, lebih dari 30% anak Indonesia mulai merokok sebelum usia 10 tahun yang mencapai angka sekitar 20 juta anak.
Jumlah fantastis itu merunut pada data jumlah anak Indonesia usia 0-14 tahun berdasarkan sensus 2010, yang melebihi 67 juta orang. Laporan Atlas juga mengungkapkan bahwa Indonesia mendapat sorotan khusus sebagai negara dengan angka perokok termuda paling tinggi.
Sementara Data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak menunjukkan selama tahun 2008 hingga 2012 jumlah perokok anak di bawah umur 10 tahun di Indonesia mencapai 239.000 orang. Sedangkan jumlah perokok anak antara usia 10 hingga 14 tahun mencapai 1,2 juta orang. Jumlah ini diprediksi meningkat setiap tahunnya.