Meski pemerintah Belanda ingin menciptakan kesan alun-alun sebagai simbol superioritas kolonial, kesan ini lambat laun takluk oleh ekspansi rakyat pribumi.Â
Mereka memanfaatkan alun-alun untuk menggelar dagangan di bawah pohon-pohon beringin yang ada di beberapa bagian alun-alun.Â
Tak hanya itu, fungsi Alun-alun Malang juga berubah menjadi pusat pergerakan rakyat. Di zaman Jepang dan perjuangan kemerdekaan, alun-alun menjadi tempat konsolidasi rakyat untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Terbentuknya Alun-alun Bunder Malang
Ekspansi penduduk pribumi ini memaksa pemerintah Belanda untuk membuat alun-alun baru. Situasi yang didukung oleh meningkatnya migrasi orang-orang Belanda yang datang ke Malang setelah tahun 1900.Â
Generasi baru orang Eropa ini ingin kota yang mereka tinggali punya pusat kegiatan sendiri, tidak bercampur dengan aktivitas para pribumi. Mereka ingin pusat pemerintahan kota dipindah, jauh dari alun-alun yang saat itu praktis sudah dikuasai rakyat jajahannya.Â
Keinginan ini diperkuat sesudah Kota Malang diberikan status kotamadya (Gemeente) pada tahun 1914. Akhirnya pada tahun 1922, dewan kota Malang membuat alun-alun baru di sebelah utara dan memindahkan pusat pemerintahan ke area yang lebih dekat dengan hunian para imigran.
Alun-alun yang baru ini lalu dinamakan Coenplein Jan Pieter (Taman Jan Pieter Coen), sebagai bentuk penghormatan pada Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda keempat dan keenam.Â
Sementara penduduk pribumi menyebutnya Alun-alun Bunder (sekarang disebut Bundaran Tugu), mengacu pada bentuk lingkaran dari taman yang baru tersebut.
Kedua alun-alun itu kemudian menjadi ruang terbuka tetapi air mancur yang didirikan di tengah-tengah Alun-Alun Bunder dimaksudkan untuk memberikan kesan bahwa area ini sekarang berfungsi sebagai taman kota, bukan pusat kegiatan rakyat biasa.
Lebih jauh, keberadaan Alun-alun Bunder dan pusat pemerintahan di depannya juga dimaksudkan untuk menjadikan kawasan ini sebagai kota "Indische" dan simbol otoritas pemerintah kolonial.Â