Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Banser, FPI, dan Konflik di Papua

25 Agustus 2019   21:51 Diperbarui: 26 Agustus 2019   06:08 1373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terpilih asal Papua, Yorrys Th Raweyai menyebut ada 7 tuntutan masyarakat Papua ketika dirinya hadir menemani Kapolri Tito Karnavian dan Menkopolhukan Wiranto yang datang ke Papua pada Kamis (22/8). Menurut Yorrys, tuntutan itu bukanlah darinya, tapi dari masyarakat Sorong dan Manokwari yang dibacakan pada demonstrasi Rabu 21 Agustus 2019.

"Artinya Presiden harus datang. Kemudian usut tuntas kasus ini," kata Yorrys ketika ditemui di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (24/8/2019).

Berikut tujuh tuntutan massa di Sorong saat aksi demo yang berlangsung di lapangan Apel Kantor Wali Kota Sorong, pada Rabu 21 Agustus 2019.

  1. Agar Pemerintah RI segera memulangkan mahasiswa Papua dari Tanah Jawa kembali ke Papua.
  2. Mereka juga mendesak agar presiden mewakili segenap Bangsa Indonesia meminta maaf kepada rakyat bangsa Papua.
  3. Pemerintah harus segera bubarkan ormas Banser dari negara Republik Indonesia.
  4. Negara RI segera tarik militer organik dan nonorganik dari tanah Papua, biarkan 'monyet hidup' sendiri di bangsanya sendiri,"
  5. Agar Presiden Jokowi memecat oknum anggota TNI yang mengeluarkan statement 'monyet' kepada mahasiswa Papua.
  6. Meminta agar Pemerintah RI memberikan kebebasan bagi Papua menentukan nasib sendiri. "The right of the self determination for west Papua" kepada rakyat Papua.
  7. Apabila pemerintah Indonesia tidak mengindahkan pernyataan kami dan melakukan hal yang sama, maka kami akan duduki.

Mencermati tuntutan masyarakat Papua seperti yang dituturkan Yorrys tersebut, ada satu poin tuntutan yang cukup mengusik dan menimbulkan pertanyaan tersendiri, yakni pada poin nomor 3. Apa hubungannya Banser dengan demonstrasi yang mengakibatkan kerusuhan di Manokwari tersebut?

Harus diakui, setiap kali ada gejolak sosial dan keamanan yang terjadi di Papua, nama Banser selalu ikut diseret. "Barisan Anshor Serba Guna", yang merupakan satuan pengamanan dibawah bendera GP Anshor ini bahkan kerap menjadi sasaran bullying dari netizen.

Silahkan mencermati komentar atau postingan di media sosial apabila ada berita tentang gejolak sosial di Papua. Hampir semuanya menyindir keberadaan Banser dan dengan nada satir meminta Banser untuk turun tangan langsung ke Papua.

Mungkin karena saking jengkelnya dengan sindiran tersebut, dan ingin menjelaskan fungsi dan peranan Banser, beberapa waktu lalu akun Instagam Gus Miftah, salah seorang tokoh muda NU dan Anshor mengunggah rekaman video yang isinya menjawab "tantangan" netizen tersebut.

Menurut Gus Miftah, Banser tidak memiliki payung hukum untuk ikut membantu meredakan gejolak keamanan di Papua. Banser bukan TNI atau Polri yang punya kewenangan dan tanggung jawab mengurusi masalah keamanan daerah.

"...yang lucu itu kalau gak punya wewenang sebagai aparat, tetapi berperilaku dan berlagak seperti aparat," kata Gus Miftah di akhir rekaman video Instagramnya.

Alih-alih mendinginkan suasana, unggahan Gus Miftah ini justru memancing bullying yang lebih banyak lagi. Sekali lagi dengan nada satir, netizen mempertanyakan apakah Gus Miftah sedang menyindir Banser sendiri?

Pasalnya, netizen mengaitkan pernyataan Gus Miftah tersebut dengan kenyataan di lapangan. Mereka mengungkit kembali aksi pembubaran kajian dan persekusi beberapa ustad yang dilakukan oknum Banser. Tak lupa, netizen juga menyindir slogan "NKRI Harga Mati" yang selalu digaungkan Banser setiap kali ada demonstrasi yang dilakukan salah satu ormas.

Tulisan ini tidak saya maksudkan untuk memperkeruh suasana atau mengadu domba. Saya hanya melihat bahwa berita tentang tuntutan masyarakat Sorong dan Manokwari yang ingin Banser dibubarkan hendaknya bisa dijadikan cermin bagi Banser itu sendiri.

Kehebohan masalah konflik di Papua dan menyangkut pautkan dengan nama Banser, sebenarnya hanya bahasa satire netizen +62 atas berbagai kelakuan Banser di tanah air. Dengan slogan penjaga "NKRI" dan membanggakan bahwa mereka akan menjaga tanah air dari ancaman perpecahan dijadikan cermin oleh netizen dengan keadaan di Papua saat ini.

Seharusnya, jika NKRI itu mencakup wilayah Papua, maka mereka harus hadir di tengah masyarakat Papua sebagai ikon perdamaian yang mereka banggakan. Menjaga NKRI bukan berarti harus berhadapan dengan demonstran, apalagi berhadapan dengan OPM. Melainkan dengan memberi nilai dan etika kecintaan pada negara melalui aksi yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat Papua. Jika ada aksi, maka akan ada respek pada Banser atas apa yang mereka banggakan.

Faktanya, slogan yang mereka gaungkan jauh dari kenyataan, kalau tidak boleh disebut omong kosong. Alih-alih hadir dan ikut menyejukkan suasana, beberapa oknum Banser malah menuduh pihak lain sebagai kambing hitam atas kerusuhan yang terjadi di Papua.

Siapa lagi kambing hitam itu kalau bukan FPI? Pegiat media sosial semacam Abu Janda atau Permadi Arya hingga Eko Kuntadhi dengan terang menuduh FPI sebagai biang kerok kerusuhan. Bahkan terkait tuntutan pembubaran Banser ini pun para oknum Buzzer ini masih sempat-sempatnya menuduh ada HTI di balik demonstrasi masyarakat Papua. Sangat jauh panggang dari api karena mahasiswa Papua di Kota Malang malah meminta perlindungan pada FPI setempat.

Baik FPI, HTI maupun Banser sendiri tidak ada sangkut pautnya dengan aksi kekerasan pada mahasiswa Papua yang berujung pada demonstrasi dan kerusuhan. Kambing hitamnya adalah akumulasi kekecewaan atas ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Papua.

Melihat konflik Papua, tuntutan pembubaran Banser dan sentilan netizen hendaknya bisa kita jadikan pelajaran bahwa menjaga NKRI itu bukan dengan memusuhi saudara sendiri. Bukan dengan berlagak seperti aparat, meskipun tahu mereka tidak punya wewenang sebagai aparat.

Namun, sejukkan suasana dengan sebuah ucapan yang merangkul semua. Menjaga dan merawat NKRI tanpa ada diskriminasi tuduhan dan sebutan RADIKAL DAN HTI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun