"Pertemuan tradisional sebuah perusahaan dimulai dengan presentasi. Seseorang bangkit di depan ruangan dan menyajikan presentasi powerpoint, semacam slide show. Dalam pandangan kami, Anda mendapatkan sangat sedikit informasi, Anda mendapatkan poin-poin. Ini mudah untuk presenter, tetapi sulit untuk audiens.Â
Dan sebaliknya, semua rapat kami disusun di sekitar memo narasi 6 halaman .... Jika Anda memiliki presentasi ppt tradisional, eksekutif menyela. Jika Anda membaca keseluruhan memo 6 halaman, pada halaman 2 Anda memiliki pertanyaan tetapi pada halaman 4 pertanyaan itu dijawab. "Â ~ Jeff Bezos, CEO Amazon ~
Jeff Bezos memang "gila". Dalam kurun waktu 24 tahun, Jeff Bezos sukses menjadikan Amazon sebagai raksasa e-commerce dan teknologi dunia. Kesuksesan ini diikuti pula dengan bertambahnya kekayaan Jeff Bezos hingga kemudian ia dinobatkan sebagai orang terkaya di dunia. Taksiran kekayaannya sekitar 1,6 biliun, mengalahkan triliuner lain seperti Jack Ma hingga Marc Zuckenberg.
Perkembangan pesat Amazon, dari sebuah toko buku online menjadi mesin pengeruk uang tak lepas dari model bisnis yang cerdas dan efisien yang ditanamkan Jeff Bezos terhadap karyawan Amazon. Dua yang populer dan dikenal baik oleh para pebisnis dunia adalah aturan "Two Pizza" dan "No Power Point".
Aturan "Two Pizza"Â
Sesuai dengan namanya, aturan "Two Pizza" bermakna harfiah. Bukan berarti Jeff Bezos menyuap bawahannya untuk menghadiri pertemuan atau rapat dengan sogokan hidangan dua pizza. Alih-alih, "Two Pizza" adalah aturan yang ia gunakan untuk membuat rapat tetap produktif. Dia menyebutnya "dua aturan pizza" atau "dua tim pizza."
Pada dasarnya, Jeff Bezos hanya akan mengadakan pertemuan jika pesertanya cukup untuk diberi konsumsi dua pizza saja. Menurut pandangan Jeff Bezos, jika peserta rapat terlalu banyak hingga dua pizza tidak cukup untuk dibagikan sebagai konsumsi, maka tidak ada yang bisa dilakukan.
Aturan "Six Page Memo"
Aturan yang kedua, "No Power Point" juga memiliki makna harfiah. Para eksekutif Amazon tidak pernah mempresentasikan ide besar dan topik pertemuan mereka melalui slide demi slide yang dibuat dengan Power Point.Â
Sebaliknya, mereka mengomunikasikannya melalui memo sebanyak maksimal 6 halaman. Itu sebabnya aturan "No Power Point" ini dikenal pula dengan aturan "Six Page Memo".
Dalam postingan di Linkedin pada 2015, VP and Distinguished Engineer Amazon, Brad Porter menceritakan pengalamannya menghadiri rapat eksekutif Amazon dan menyebutnya sebagai "Ajaib".
"Bayangkan sejenak bahwa Anda bisa menghadiri rapat dan semua orang yang hadir akan memiliki konteks yang sangat mendalam tentang topik yang akan Anda diskusikan.Â
Bayangkan jika semua orang memahami prinsip inti yang Anda operasikan dan menginternalisasi bagaimana Anda menerapkannya pada keputusan Anda.
Betapa hebatnya jika tidak terus-menerus diganggu dengan mengklarifikasi pertanyaan? Jika eksekutif sangat memahami organisasi Anda dari sudut pandang Anda sebelum menyatakan bahwa mereka lebih tahu bagaimana melakukannya?Â
Betapa hebatnya untuk dapat meninjau data inti yang mengambil keputusan daripada membuat seseorang meringkasnya dan menyatakan bahwa korelasi adalah kausalitas tanpa mengungkapkan pekerjaan mereka?"
Seperti yang digambarkan Brad Porter, para eksekutif Amazon selalu menuliskan ide dan topik pertemuan yang merinci proyek, ruang lingkup serta pendekatan yang akan dilakukan dalam enam lembar memo.Â
Memo ini lalu dibagikan pada para peserta rapat (yang jumlahnya cukup untuk diberi konsumsi dua pizza saja). Dengan demikian, setiap peserta rapat sudah tahu secara detil tentang apa yang akan dibahas di pertemuan mereka.
Pengalaman memodifikasi aturan "Six Page Memo"
Setelah membaca postingan Brad Porter ini, saya pun mencoba untuk memodifikasi aturan itu dan menerapkannya. Bukan untuk keperluan rapat, tapi untuk membuat peserta pelatihan bisa fokus pada materi yang saya sampaikan.
Berbeda dengan budaya Amazon yang menihilkan Power Point, saya tetap membutuhkan slide demi slide untuk mempresentasikan materi pelatihan. Terlebih dahulu, saya memberi peserta poin-poin apa yang akan dipelajari saat itu.Â
Namun, sebelum masuk ke slide bab pertama, saya meminta seluruh peserta untuk menuliskan daftar pertanyaan terkait dengan poin-poin pelatihan di lembaran kertas masing-masing.
Saya juga meminta peserta untuk mencoret pertanyaan apabila mereka sudah menemukan jawabannya dari slide materi yang saya sampaikan. Bila belum terjawab, mereka bisa menanyakannya di akhir presentasi.
Hasilnya? Hampir semua peserta akhirnya bisa fokus. Mereka menyimak dengan baik slide presentasi dan penjelasan yang saya sampaikan. Sampai akhir presentasi, hanya ada dua pertanyaan dari peserta yang menurut mereka belum terjawab.
Selama ini, ada kecenderungan peserta pelatihan tidak fokus dan kurang antusias dalam bertanya. Jika pemateri bertanya, "Ada pertanyaan?", yang terjadi adalah keheningan. Sering pula saya melihat peserta malah sibuk bermain gawai, alih-alih menyimak presentasi dengan seksama.
Mencontoh kutipan Jeff Bezos, presentasi tradisional selalu mengakhirkan sesi pertanyaan. Tapi saya membalikkan tradisi tersebut dengan meminta peserta untuk menuliskan daftar pertanyaan mereka sebelum presentasi dimulai.
Mengapa saya meminta peserta untuk menulis pertanyaan dan bukan menyiapkan pertanyaan itu di benak mereka saja selama presentasi?
Mengutip hasil sebuah penelitian, pikiran kita menjadi lebih terencana ketika kita mulai menulis (bukan menyalin - tetapi menulis). Ini karena area hippocampus pada otak, yang merupakan pusat emosi, ingatan, dan sistem saraf otonom, menjadi aktif ketika kita menulis. Bagian lain dari otak, yang terkait dengan memegang banyak informasi sekaligus, juga menjadi aktif.Â
Dengan metode ini, peserta pertemuan setidaknya "harus" menyimak presentasi dengan baik. Sama seperti aturan "Six Page Memo" ala Amazon, peserta bisa saja memiliki pertanyaan pada slide ke-2, tapi pada slide ke-4 pertanyaan itu mungkin pula akhirnya terjawab.
Seandainya Aturan "Two Pizza" dan "Six Page Memo" diterapkan Pemerintah
Beberapa hari yang lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyindir kinerja birokrat yang dianggapnya tidak substantif dan tidak efisien. Menurut Sri Mulyani, pemerintahan kini terlalu banyak pembahasan dibandingkan tindakan yang dilakukan.Â
Hal ini membuat rasio produktivitas Indonesia atau ICOR (Implemental Capital To Output Ratio) Indonesia masih tinggi.
"Karena ICOR di atas 6 persen, biaya ekonomi kita pasti tinggi. Itu karena banyak perantara daripada yang benar-benar kerja. Terlalu banyak pembahasan daripada yang mengerjakan. Lebih banyak biaya penunjang daripada inti," ujar Sri Mulyani dalam sebuah diskusi di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (9/8/2019).
Meskipun sindiran itu di luar konteks suatu pertemuan atau komunikasi dalam rapat, namun apa yang dikatakan Sri Mulyani ada benarnya bila dikaitkan dengan budaya komunikasi pemerintah.
Sering kita lihat dan baca beritanya, rapat-rapat atau pertemuan yang dilakukan birokrat memakan anggaran yang sangat besar. Lokasinya minimal harus di hotel, konsumsinya bermacam-macam dan sangat "wah". Belum lagi anggaran untuk menginap bila pesertanya berasal dari luar kota.
Coba bayangkan seandainya budaya pertemuan dan komunikasi Amazon itu diterapkan. Rapat pemerintah hanya dihadiri peserta yang cukup diberi makan dua pizza saja (ukuran besar tidak mengapa). Artinya, hanya orang yang benar-benar memiliki kepentingan dengan materi rapat itu saja yang diperbolehkan ikut.
Kemudian ketika rapat dilarang presentasi dengan powerpoint. Materi rapat sebelumnya sudah harus beredar dalam bentuk catatan sebanyak maksimal 6 lembar memo. Sehingga ketika rapat dimulai, semua peserta sudah mengerti apa yang akan dibahas.Â
Dengan demikian, tidak ada pembicaraan atau pembahasan di luar konteks materi yang sudah disampaikan dalam memo tersebut.
"Sama seperti anak-anak sekolah menengah, eksekutif akan menggertak rapat mereka, seolah-olah mereka sudah membaca memo itu. Karena kita sibuk. Jadi, Anda harus benar-benar mengukir waktu agar memo dibaca - dan untuk itulah setengah jam pertama pertemuan itu. Dan kemudian semua orang benar-benar membaca memo itu, mereka tidak hanya berpura-pura membaca memo itu. "
~Jeff Bezos ~
Mempertimbangkan kesuksesan Jeff Bezos dan Amazon yang sudah mereka raih berkat prinsip "Two Pizza" dan "No Power Point/Six Page Memo" ini, tidak ada salahnya apabila setiap organisasi, baik itu perusahaan komersial maupun pemerintah bisa menirunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H