Syarat penyembelihan hewan kurban inilah yang menunjukkan Islam juga menghargai hak perikehewanan. Misalnya untuk pemilihan hewan yang akan dikurbankan, sohibul kurban diminta untuk menghindari hewan yang cacat yang membuat ibadah kurban itu menjadi tidak sah. Yaitu hewan yang buta sebelah, pincang yang jelas pincangnya, sakit yang jelas sakitnya, dan hewan yang tidak memiliki sumsum tulang (karena terlalu tua atau sangat kurus).
Selain itu, tuntunan Islam juga meminta untuk menghindari hewan yang makruh dijadikan kurban seperti hewan yang telinganya sobek, berlubang atau terpotong, hewan yang ekornya terputus sebagian atau seluruhnya, dan hewan yang tanduknya patah atau retak.
Begitu pula saat penyembelihan hewan kurban, Islam menetapkan syarat yang ketat. Misalnya, pisaunya harus tajam, penyembelihannya harus cepat, tidak ada penyembelihan di depan hewan lain dan bahkan sebelum disembelih hewan kurban harus diberi minum.
Terhadap tuntunan penyembelihan hewan seperti ini, peneliti Jerman Wilhem Schulze menyatakan bahwa metode seperti ini seharusnya tidak menimbulkan rasa sakit bagi hewan kurban karena tekanan darah hewan kurban cepat hilang.
Karena itu, hari raya Iduladha bukan dimaknai sebatas perayaan atau festival penyembelihan hewan kurban. Penyembelihan hewan kurban adalah bentuk tindakan sederhana dari ketaatan dan pengabdian seorang hamba pada Tuhannya.
Hari Raya Kurban harus dimaknai sebagai pengingat bahwa yang dikorbankan itu sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia, seperti rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas, dan tidak mengenal norma-norma apapun. Itu sebabnya Allah SWT mengingatkan:
"Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat akan sampai kepada (keridhaan) Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu" (QS. Al Hajj: 37).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H