Hari ini (6/8) Umat Islam Indonesia, khususnya warga Nahdliyin berduka. KH. Maimun Zubair, atau yang akrab dipanggil Mbah Moen telah dipanggil ke hadirat Allah SWT. Mbah Moen meninggal dunia saat berada di Kota Suci Mekah.
Kabar meninggalnya Mbah Moen dengan cepat menyebar di media sosial. Di antara kabar yang beredar adalah permintaan khusus dari pihak keluarga untuk tidak menyebarkan foto-foto meninggalnya Mbah Moen di ranah media sosial. Entah benar atau tidak kabar permintaan tersebut, rasanya sulit bagi umat untuk mematuhinya. Mbah Moen sudah dianggap sebagai milik umat Islam Indonesia.
Sulit bagi siapapun juga untuk melupakan Mbah Moen. Ketokohan beliau diakui banyak orang, dari politikus nasional hingga tokoh politik di pelosok daerah. Nasehat beliau didengar semua lapisan masyarakat, dari presiden hingga tukang becak di pinggir jalan. Â
Meskipun belum pernah nyantri dan menjadi santri beliau, sosok Mbah Moen sangat melekat di hati saya pribadi. Beliau adalah guru, ulama, dan kyai yang sangat dihormati lingkungan keluarga saya yang notabene warga Nahdliyin taat.
Mulai dari almarhum Mbah, Ayah, dan Ibu terhitung pernah nyantri di Ponpes Sarang, Rembang. Tradisi nyantri di sana kemudian diteruskan oleh garis keturunan yang lebih muda.Â
Banyak sepupu dan keponakan saya yang jika ingin mondok, maka pilihan pertama jatuh ke Ponpes Al-Anwar, Sarang, Rembang. Karenanya, tak heran apabila kabar meninggalnya Mbah Moen saya dapatkan pertama kali dari grup keluarga besar, yang hampir semuanya pernah nyantri dan mengenal Mbah Moen.
Bagi warga Nahdliyin, Mbah Moen adalah salah satu tokoh dan panutan yang petuah dan nasehat beliau selalu di dengar dan ditaati. Termasuk dalam urusan politik.Â
"Manut Dawuhe Mbah Moen", ikut petuah Mbah Moen, begitulah jawaban warga Nahdliyin, khususnya dari Jawa Tengah bila mereka ditanya apa pilihan politiknya.
Begitu tingginya kedudukan Mbah Moen bagi warga Nahdliyin hingga bila mereka ada keperluan atau hajat, mereka selalu menyempatkan diri untuk meminta do'a restu Keluarga Ndalem Ponpes Sarang, khususnya Mbah Moen sendiri.
Mbah Moen juga lah yang dianggap banyak pihak mampu merekatkan perbedaan yang kerap timbul, tak hanya di lingkungan warga Nahdliyin saja, tapi juga umat Islam Indonesia pada umumnya. Mbah Moen memberi teladan dalam keluarga beliau sendiri.
Meskipun hidup dalam kultur NU yang sangat kuat, bukan berarti Mbah Moen menolak pendapat dan ajaran yang dianggap bukan bagian dari kultur NU. Salah satu putra beliau, KH. Muhammad Najih Maimun Zubair bisa dibilang satu perkecualian.