"Hal ini mungkin disebabkan karena informasi yang dibaca sebagian dan tidak dipahami sepenuhnya," kata Tim Direktorat Pembinaan SMA Kemendikbud dalam keterangan tertulisnya, Kamis (1/8/2019). Hal ini disebut wajar karena meme merupakan media yang sangat memungkinkan untuk menghasilkan beragam interpretasi yang berbeda-beda."
Tim Direktorat Pembinaan SMA kemudian menyampaikan alasan pemilihan pemenang serta kriteria meme yang diperlombakan. Menurut mereka, para pemenang sudah menunjukkan adanya proses kreatif yang harus dilalui.
Kreatifitas itu disebutkan bahwa siswa harus menggunakan foto atau gambar pribadi dalam karya tersebut. Foto (meme) itu juga harus menggunakan majas ironi dalam kata-kata yang digunakan.
"Perlu disadari bersama bahwa dunia remaja adalah dunia yang sarat dengan pengungkapan tentang 'rasa', sebagai orang yang lebih dewasa, kita tidak bisa menghindari kondisi tersebut. Ada hal yang lebih besar yang terjadi dalam proses pembuatan karya, yaitu membangkitkan kreativitas, menciptakan kreator-kreator muda yang memiliki pemikiran luas," tulis Tim Direktorat Pembinaan SMA dalam keterangan tertulisnya, Kamis (1/7/2019).
"Mendidik tidak hanya bertumpu pada hasil tapi juga proses, literasi bukan hanya kemampuan 6 literasi dasar, tapi literasi adalah proses memahami. Dan kita harus memahami dunia remaja," sambungnya.
Terkait anggapan bahwa meme tersebut mengajarkan anak SMA berpacaran, Tim Direktorat Pembinaan SMA menyatakan bahwa dalam karya tersebut tidak menyebutkan secara gamblang tentang pacaran. Selain itu meme tersebut disebutkan tidak menggunakan atribut yang menggambarkan anak SMA. "Karena pesan yang diangkat ingin menunjukkan relasi antara dua insan di Indonesia," tulisnya.
Terlepas dari pembelaan yang dilontarkan Tim PSMA Kemendikbud, apa yang disampaikan netizen memang benar adanya. Mengamati karya para pemenang yang diunggah di media sosial, meme yang mereka buat tak jauh dari urusan percintaan.
Okelah kalau panitia lomba beralasan karya meme itu tidak menyebutkan secara gamblang tentang pacaran. Narasinya memang benar tentang ke-Indonesiaan, tapi materi kontennya banyak menggambarkan fenomena pacaran ala anak usia sekolah. Tentu saja hal ini kurang sesuai dengan arah pendidikan karakter yang saat ini menjadi dasar pendidikan Indonesia.