Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penulis, "Entertainer" yang Jasanya Kurang Dihargai

23 Juli 2019   09:15 Diperbarui: 23 Juli 2019   09:20 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
grafis dokumentasi Himam Miladi

Ketika Penulis Menghilang Dari Linimasa Media Sosial.

Linimasa media sosial mendadak sepi. Tak ada postingan yang berisi tautan artikel dari berbagai blog atau website. Tak ada yang berbagi tips, opini, puisi, cerpen atau cerita dan berita ringan yang menghibur. Yang tersisa hanya tulisan berita faktual yang dikirim oleh para jurnalis.

Sadar bahwa umpan media sosial mereka seperti area pemakaman yang tak pernah dikunjungi orang, barulah netizen ramai berkomentar.

"Ada apa ini?" tanya Bejo pada temannya, Paijo. Biasanya, linimasa medsos Bejo selalu terisi umpan artikel otomotif dari para blogger. Berbagai tips dan trik mengulik motor dibacanya dengan tuntas. Tapi hari itu dia merasa kehilangan sesuatu. Beranda medsos-nya hanya berisi komentar dan pertanyaan yang sama dari teman-teman sesama penghobi otomotif.

"Gak tahu nih. Medsosku juga sepi, Jo. Gak ada yang berbagi tips menulis atau puisi dan cerpen mereka," kata Paijo menimpali keheranan temannya. Berbeda dengan Bejo yang hobi otomotif, Paijo senang membaca fiksi. Meskipun hingga saat ini dia masih belum mau untuk menulis atau membuat karya sendiri.

Menjelang sore, barulah netizen tahu apa penyebab sepinya linimasa medsos mereka. Ternyata, saat itu ada pemogokan massal para penulis sedunia. Blogger, Content Writer, Copywriter, penulis buku, penyair, cerpenis, hingga para remaja yang mulai gemar menulis puisi dan cerita-cerita pendek kompak memutuskan untuk berhenti menulis!

"Mengapa kalian berhenti menulis?" tanya seorang jurnalis pada pimpinan Konfederasi Penulis dan Blogger Se-Dunia saat mereka menggelar jumpa pers.

"Sebenarnya, aksi hari ini adalah wujud dari suara hati yang sudah kami pendam begitu lama. Kami, para penulis, merasa kurang dihargai oleh para pembaca dan penikmat industri hiburan. Kami merasa, apa yang kami hidangkan pada kalian tidak mendapat imbalan yang pantas. Dibandingkan penghibur lain, para penulis  tidak mendapat penghasilan yang layak. Kami kerap diperlakukan sebagai mesin. Kami sering diperintahkan untuk terus menulis, tetapi kebutuhan dan kesejahteraan hidup kami tidak pernah diperhatikan. Tidak ada yang peduli dengan nasib para penulis. Karena itu, mulai hari ini kami memutuskan untuk berhenti menulis, dan mulai mencari pekerjaan lain yang bisa mencukupi kebutuhan hidup kami."

***

Penulis, "Entertainer" yang Kurang Dihargai.

Ilustrasi cerita di atas tentu saja imajinasi belaka. Tapi, seandainya benar terjadi, terbayang tidak seperti apa respon orang-orang? Beberapa orang mungkin bertanya-tanya di mana gerangan para penulis ini - terutama jika si penulis selalu hadir di beranda media sosial membagikan karya tulisnya. 

Dan mungkin pula lebih banyak yang tidak memperhatikan. Karena bagi mereka ini, ada atau tidak adanya penulis tidak memiliki efek langsung dalam hidup mereka.

Faktanya, kehidupan seorang penulis mirip dengan yang dikatakan pimpinan Konfederasi Penulis dalam ilustrasi cerita tadi. Sebagai penghibur, mayoritas penulis kurang dihargai, terutama dari sisi penghasilan atas hasil tulisan mereka. 

Saya kategorikan penulis sebagai penghibur (Entertainer) karena dalam pengelompokan profesi, penulis kerap dimasukkan dalam kategori Seni dan Hiburan (Art & Entertainment).

Sekarang, mari kita bandingkan angka penghasilan penulis dengan penghibur lainnya, menurut laporan dari Forbes:

grafis dokumentasi Himam Miladi
grafis dokumentasi Himam Miladi

Dibandingkan sosok penghibur lain, penghasilan seorang penulis jauh dibawah yang bisa diperoleh rekan-rekan mereka sesama penghibur seperti atlet atau aktor.

Sementara itu, angka penghasilan YouTuber yang dirilis Forbes itu hanyalah angka dari pendapatan iklan saja. Belum termasuk sumber pendapatan lain seperti sponsor, barang dagangan, dll. Sehingga jika itu digabungkan, apa yang sudah diperoleh penulis berpenghasilan terbanyak sekalipun belum bisa melampauinya.

Angka-angka yang tercantum dalam laporan Forbes 2018 tentang penghibur YouTube berpenghasilan tinggi itu juga memberi kita gambaran bahwa siapa pun dapat menghasilkan uang melalui platform streaming video; selama mereka meluangkan waktu dan memiliki sesuatu yang berharga untuk ditawarkan. Orang-orang dapat memperoleh jutaan rupiah sebulan hanya dengan mengunggah video yang relatif sederhana tentang subjek yang bisa menarik massa.

infografis dokumentasi Himam Miladi
infografis dokumentasi Himam Miladi

Dan fakta berikut ini mungkin bisa menambah ironi bagi penulis: 5 YouTuber berpenghasilan tertinggi adalah gamer; 2 YouTuber bersaudara, Logan Paul dan Jake Paul mendapat penghasilan dari konten video prank; dan YouTuber terkaya, Ryan Toysreview adalah anak berusia 7 tahun yang menyukai mainan, dan mendapat kekayaannya dari mereview serangkaian mainan dan barang koleksi yang dijual di WalMart.

Tentu saja ada beberapa penulis yang penghasilannya bisa melampaui batas impian setiap penulis manapun. Tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Lebih banyak penulis yang malah hanya bisa mendapat upah atas karya mereka dibawah upah minimum karyawan biasa.

Hasil Karya Penulis Lebih Abadi dibandingkan Penghibur manapun.

Dengan mempertimbangkan sisi kreativitas dan hasil karya penulis, apa yang bisa mereka peroleh dari tulisan mereka dibandingkan penghibur lain rasanya tidak adil. Menulis itu butuh kreativitas yang rumit. Neuron dalam otak kita harus mampu menangkap ide, kemudian mengeksekusinya dalam bentuk perintah pada jari jemari untuk mengetik di papan ketik atau menggerakkan pena yang tergenggam di atas kertas kosong.

Setiap orang memang bisa menulis. Tapi untuk bisa membuat tulisan yang tersusun secara runut dan rapi, enak dibaca, bermanfaat, menginspirasi, menghibur, atau menyajikan informasi dan pengetahuan yang bisa dipahami dengan jelas oleh pembacanya, hal seperti ini butuh keterampilan khusus.

Menulis yang baik bukanlah bakat yang bisa diperoleh sejak lahir. Keterampilan untuk menulis diasah seumur hidup, sama seperti keterampilan untuk berakting atau bermain sepak bola. Keterampilan menulis tidak bisa dilatih hanya dalam hitungan jam atau hari. Keterampilan menulis harus dilatih setiap saat, seiring keinginan kita untuk bisa menjadi penulis yang lebih baik.

Kami, para penulis, menghasilkan konten yang menghibur milyaran orang. Kami menciptakan imajinasi tentang manusia, hewan, kota, negara, planet, tata surya, dan galaksi. Tulisan kami dapat membantu orang melalui masa-masa sulit, menginspirasi mereka, membimbing mereka. Konten yang kami sajikan memberi orang informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan.

Karya kami abadi, jauh melampaui jaman. Mengutip perkataan terkenal dari Sir Francis Bacon dalam The Advancement of Learning (1605), 

"Mari kita lihat, betapa monumen-monumen akal dan pembelajaran jauh lebih bertahan daripada monumen-monumen kekuatan atau karya tangan. Karena bukankah bait-bait Homer bertahan dua ribu lima ratus tahun atau lebih tanpa kehilangan satu patah kata atau huruf pun. Dalam kurun waktu itu tak terkira banyaknya istana, kuil, benteng kota yang telah membusuk dan hancur".

Jadi mengapa kami dihargai dengan tidak semestinya? Mengapa angka penghasilan penulis di bawah jumlah yang bisa diperoleh pemain sepakbola, artis hingga YouTuber?

Meskipun secara fakta menurut angka penghasilan kami kurang dihargai, beruntung kalian para pembaca, bahwa hingga saat ini kami para penulis tidak memutuskan untuk mogok dan berhenti menulis. Bersyukurlah kalian bahwa sampai tulisan ini kalian baca, kami para penulis masih tetap dan selalu menulis.

Mengapa?

Pertama, karena masih banyak dari kalian yang suka membaca. Tanpa ada pembaca, tulisan kami tidak ada artinya.

Kedua, karena kami menulis bukan semata demi menggantungkan hidup dari penghasilan yang bisa diperoleh. Meskipun ya, harus diakui tak sedikit orang yang menulis karena terpaksa, dengan alasan ingin menghasilkan uang. Tak sedikit orang yang menjadikan penulis sebagai profesi tetap dan mencukupi kebutuhan hidup mereka dari menjual tulisannya.

Tapi, lebih banyak dari kami yang menulis karena dorongan hati. Selain sebagai hobi, menulis bagi kami adalah sarana aktualisasi diri. Kami tuangkan ide-ide, imajinasi hingga pengetahuan yang kami miliki melalui goresan warna hitam putih di atas kertas kosong.

Bisa saja waktu luang yang ada kami gunakan untuk konsentrasi pada usaha lain, atau berinvestasi di bidang lain. Tapi kami lebih memilih untuk mengisi waktu itu dengan menulis. Beginilah cara kami mengekspresikan diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun