Setiap orang memang bisa menulis. Tapi untuk bisa membuat tulisan yang tersusun secara runut dan rapi, enak dibaca, bermanfaat, menginspirasi, menghibur, atau menyajikan informasi dan pengetahuan yang bisa dipahami dengan jelas oleh pembacanya, hal seperti ini butuh keterampilan khusus.
Menulis yang baik bukanlah bakat yang bisa diperoleh sejak lahir. Keterampilan untuk menulis diasah seumur hidup, sama seperti keterampilan untuk berakting atau bermain sepak bola. Keterampilan menulis tidak bisa dilatih hanya dalam hitungan jam atau hari. Keterampilan menulis harus dilatih setiap saat, seiring keinginan kita untuk bisa menjadi penulis yang lebih baik.
Kami, para penulis, menghasilkan konten yang menghibur milyaran orang. Kami menciptakan imajinasi tentang manusia, hewan, kota, negara, planet, tata surya, dan galaksi. Tulisan kami dapat membantu orang melalui masa-masa sulit, menginspirasi mereka, membimbing mereka. Konten yang kami sajikan memberi orang informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan.
Karya kami abadi, jauh melampaui jaman. Mengutip perkataan terkenal dari Sir Francis Bacon dalam The Advancement of Learning (1605),Â
"Mari kita lihat, betapa monumen-monumen akal dan pembelajaran jauh lebih bertahan daripada monumen-monumen kekuatan atau karya tangan. Karena bukankah bait-bait Homer bertahan dua ribu lima ratus tahun atau lebih tanpa kehilangan satu patah kata atau huruf pun. Dalam kurun waktu itu tak terkira banyaknya istana, kuil, benteng kota yang telah membusuk dan hancur".
Jadi mengapa kami dihargai dengan tidak semestinya? Mengapa angka penghasilan penulis di bawah jumlah yang bisa diperoleh pemain sepakbola, artis hingga YouTuber?
Meskipun secara fakta menurut angka penghasilan kami kurang dihargai, beruntung kalian para pembaca, bahwa hingga saat ini kami para penulis tidak memutuskan untuk mogok dan berhenti menulis. Bersyukurlah kalian bahwa sampai tulisan ini kalian baca, kami para penulis masih tetap dan selalu menulis.
Mengapa?
Pertama, karena masih banyak dari kalian yang suka membaca. Tanpa ada pembaca, tulisan kami tidak ada artinya.
Kedua, karena kami menulis bukan semata demi menggantungkan hidup dari penghasilan yang bisa diperoleh. Meskipun ya, harus diakui tak sedikit orang yang menulis karena terpaksa, dengan alasan ingin menghasilkan uang. Tak sedikit orang yang menjadikan penulis sebagai profesi tetap dan mencukupi kebutuhan hidup mereka dari menjual tulisannya.
Tapi, lebih banyak dari kami yang menulis karena dorongan hati. Selain sebagai hobi, menulis bagi kami adalah sarana aktualisasi diri. Kami tuangkan ide-ide, imajinasi hingga pengetahuan yang kami miliki melalui goresan warna hitam putih di atas kertas kosong.