Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Untuk Menjadi Bahagia, Rakyat Indonesia Tidak Butuh Kementerian Kebahagiaan

4 Juli 2019   23:08 Diperbarui: 6 Juli 2019   08:41 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bahagia. (sumber foto: unsplash.com/@larm)

"Apakah Anda bahagia?"

Demikian bunyi salah satu butir pertanyaan yang ada dalam sensus penduduk negara Bhutan. Wajar apabila rakyat Bhutan ditanya seperti itu karena masalah kebahagiaan rakyat adalah orientasi utama pemerintah dan masuk dalam pasal 9 konstitusi negara Bhutan.

Mungkin karena merasa sebagai negara yang bahagia, Bhutan ingin menularkan resep kebahagiaan mereka pada negara-negara lain di dunia. 

Pada 2011, Perdana Menteri Bhutan mengajukan proposal ke Majelis Umum PBB untuk menetapkan Hari Kebahagiaan Internasional. 

Proposal ini sontak menjadi perhatian dunia internasional dan memperdebatkan apakah kebahagiaan bisa menjadi metrik peringkat negara.

Toh pada akhirnya proposal Bhutan itu diterima oleh PBB. Pada 2012, Majelis Umum PBB menyatakan 20 Maret sebagai Hari Kebahagiaan Dunia dan mengakui "relevansi kebahagiaan dan kesejahteraan sebagai tujuan dan aspirasi universal dalam kehidupan manusia di seluruh dunia dan pentingnya pengakuan mereka dalam tujuan kebijakan publik ."

Sejak itu, PBB melalui Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Solutions Network) merilis World Happiness Report, sebagai laporan rujukan untuk menentukan negara mana yang masuk kategori bahagia.

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah negara kita belum bahagia sehingga Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) sampai mengusulkan pembentukan Kementerian Kebahagiaan?

Menurut Bamsoet, apa saja yang nantinya dilakukan menteri kebahagiaan ia menyarankan agar Indonesia bisa meniru apa yang telah dilakukan lebih dulu UEA. Setelah adanya kementerian itu, menurutnya tingkat kebahagiaan UEA dalam level dunia terbukti meningkat.

"Kita kalau nggak salah masuk rating tertinggi juga yang bahagia," katanya.

UEA memang memiliki Menteri Negara untuk Kebahagiaan dan Toleransi yang dibentuk sejak 10 Februari 2016 dan dijabat oleh Ohood Al Roumi. 

Tugas pokok dari kementerian Kebahagiaan UEA adalah menyelaraskan dan mendorong kebijakan pemerintah dalam menciptakan kehidupan sosial yang baik dan memuaskan bagi rakyat. Selain itu, Kementerian Kebahagiaan ini mengurusi masalah toleransi, kepemudaan, pendidikan dan perubahan iklim.

Melihat tugas pokok tersebut, pemerintah Indonesia sepertinya sudah merepresentasikannya melalui Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) yang sekarang dijabat oleh Puan Maharani.

Namun, Bamsoet ternyata salah jika pembentukan Kementerian Kebahagiaan yang diwacanakannya bertujuan untuk meningkatkan indeks kebahagian di tingkat internasional. 

Jika tolok ukur kebahagiaan itu adalah angka indeks kebahagiaan yang dirilis oleh World Happiness Report, rakyat Indonesia ternyata sudah bertambah bahagia!

Tanpa ada Kementerian Kebahagiaan, indeks kebahagiaan Indonesia mengalami peningkatan sebanyak 0,240 (dalam skala 0-10) dari periode data indikator 2005-2008 ke periode survei 2016-2018. 

Sekalipun pada survei terakhir Indonesia hanya berada di posisi ke-92 dari 156 negara yang diteliti kebahagiaannya, alias masih rata-rata bahagia.

Memangnya apa sih tolok ukur negara yang bahagia itu?

Menurut World Happiness Report, ada enam variabel kunci yang menjadi tolok ukur kebahagiaan suatu negara, yakni: 

  • pendapatan per kapita,
  • kebebasan untuk membuat pilihan hidup, 
  • kepercayaan pada pemerintah (indeks persepsi korupsi), 
  • tingkat harapan hidup sehat, 
  • dukungan sosial, dan 
  • tingkat kedermawanan masyarakat.

Dari enam variabel kunci tersebut, Indonesia dominan di variabel dukungan sosial dan kedermawanan. 

Rakyat Indonesia tercatat sering menjadi sukarelawan dan sering memberi donasi pada kegiatan amal. 68 persen responden di Indonesia dilaporkan aktif memberikan donasi untuk kegiatan amal dan 38 persen responden Indonesia bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi sukarelawan.

Yang membuat Indonesia hanya berada di peringkat rata-rata bawah dari negara paling bahagia adalah karena kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah khususnya pada indeks persepsi korupsi ternyata masih minus. 

Maka, jika Bamsoet mengusulkan supaya pemerintah membentuk Kementerian Kebahagiaan dengan salah satu tujuan utamanya supaya indeks kebahagiaan kita meningkat, sebenarnya Indonesia tidak membutuhkannya. 

Tanpa ada Kementerian Kebahagiaan, pemerintah Indonesia bisa meningkatkan indeks kebahagiaan kita dengan memperbaiki variabel kunci yang menjadi parameter pengukuran indeks tersebut, khususnya pada variabel nilai persepsi korupsinya.

Kebahagiaan warga sebuah negara tak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah. Inilah yang menjadi salah satu fokus World Happines Reports pada tahun ini. 

Hubungan antara pemerintah dan kebahagiaan beroperasi di kedua arah: apa yang dilakukan pemerintah mempengaruhi kebahagiaan, dan pada gilirannya kebahagiaan warga di sebagian besar negara menentukan pemerintah seperti apa yang mereka dukung.

Namun, indeks kebahagiaan negara bukanlah segalanya. Peringkat tinggi dalam indeks kebahagiaan tidak bisa melindungi warga suatu negara dari kekerasan atau trauma. 

Seperti yang ditunjukkan oleh aksi teror mengerikan baru-baru ini terhadap masjid-masjid di Christchurch, Selandia Baru. Pada rilis World Happiness Reports tahun ini, Selandia Baru berada di urutan ke-8 negara yang paling bahagia, sama seperti tahun sebelumnya.

"Apa yang menonjol tentang masyarakat paling bahagia dan paling terhubung adalah ketahanan dan kemampuan mereka untuk menghadapi hal-hal buruk," kata John F. Helliwell editor, profesor emeritus ekonomi di University of British Columbia yang menjadi co-editor World Happiness Reports.

"Setelah gempa bumi 2011 dan sekarang serangan teroris di Christchurch - dengan modal sosial yang tinggi, di mana orang terhubung - orang-orang bersatu dan saling membantu dan (setelah gempa bumi) membangun kembali dengan segera," tambah Helliwel.

Karena itu, merujuk pada pernyataan Helliwell, Indonesia sebetulnya sudah memiliki modal kuat untuk menjadi negara yang bahagia, yakni tingkat kepedulian sosial yang tinggi dan sifat masyarakat Indonesia yang dikenal dermawan. 

Pemerintah hanya perlu memperbaiki variabel kunci lainnya, terutama pada variabel nilai persepsi korupsi atau kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun