Jujur saja dan tanyakan pada diri sendiri: Apakah kamu mau membeli smartphone yang tidak mendukung sistem operasi Android dan tidak melengkapi operasionalnya dengan berbagai layanan dari Google dan Facebook?Â
Apa kamu mau membeli smartphone yang konon diklaim beroperasi paling cepat, tapi isi dalamnya tidak bisa menjalankan Google Search, Gmail, Google Playstore, Instagram hingga Whatsapp?
Kalau saya sih ogah. Bagaimanapun juga, saya dan mungkin juga sebagian besar kita yang punya smartphone sudah terbiasa hidup dalam ekosistem yang dibangun oleh Google dan Facebook tersebut.
Situasi pelik seperti inilah yang dihadapi Huawaei, vendor smartphone terkemuka asal Cina. Pasca terkena sanksi dagang dengan alasan keamanan nasional dari Presiden AS Donald Trump 15 Mei lalu, Huawei dikabarkan siap meluncurkan sistem operasi (OS) sendiri.
Hongmeng, nama OS tersebut rencananya akan ditanam dalam semua produk Huawei terbaru. Tak hanya Huawei, beberapa vendor smartphone Cina lain seperti Oppo dan Vivo juga siap mendukung dan menggunakan HongMeng, alih-alih tetap menggunakan Android.
Sedikit sekali yang diketahui tentang Hongmeng, sekalipun Huawei sendiri sejak 2012 sudah beberapa kali mengaku sedang mengembangkan OS mobile alternatif ini jika perusahaan kehilangan kendali untuk menggunakan Android. Sementara smartphone Huawei yang dijual di Cina sendiri tidak memiliki fitur Play Service sebagai buntut sensor pemerintah Cina terhadap Google.
Spekulasi yang tersebar luas di luar mengatakan bahwa Hongmeng akan dibangun di Android Open Source Project (AOSP), yang berarti Huawei berencana untuk membuat garpu Android seperti yang dilakukan Amazon dengan Fire OS untuk tablet-tabletnya.Â
Tetapi, telepon pintar berbasis AOSP tidak akan mendapatkan UX dan fitur terbaru. Tanpa Play Services, AOSP memiliki fungsi praktis yang terbatas. Mereka juga tidak akan memiliki akses ke layanan Google.
Dengan keterbatasan seperti itu, apa yang bisa dijual Huawei dari Hongmeng?
Industri mobile, belakangan ini dipenuhi dengan upaya gagal untuk membangun alternatif dari iOS dan Android. Â Windows 10 Mobile, BlackBerry 10, webOS, Firefox OS, dan Ubuntu Touch telah ditinggalkan di smartphone. Faktor utama kegagalan mereka adalah sulitnya OS alternatif ini dalam membangun dan menumbuhkan ekosistem.Â
Demikian juga dengan Sailfish, OS yang dikembangkan mantan karyawan Nokia atau Tizen milik Samsung yang masih memiliki runtime Android opsional. Â
Sejauh ini para OS alternatif tersebut kompabilitasnya kurang untuk aplikasi yang membutuhkan  antar muka pemograman aplikasi (API) Google yang membantu mendukung fungsionalitas di seluruh perangkat.
Sebagai salah satu raksasa teknologi, Huawei memang memiliki sumber daya dan kekuatan R&D yang lebih dari cukup untuk mengembangkan OS baru. Namun, rintangannya adalah meyakinkan pengembang dan pembuat aplikasi terkemuka untuk menulis ulang aplikasi mereka ke platform baru.
Salah satu alasan mengapa Microsoft dan Samsung menyerah pada platform masing-masing adalah kurangnya dukungan dari pengembang pihak ketiga yang ogah menulis ulang aplikasi mereka di OS Windows 10 Mobile dan Tizen. OS BlackBerry dan OS FireFox juga mengalami nasib yang sama.Â
Amazon memang berhasil membangun ekosistem sendiri, tapi tanpa adanya layanan Google di Fire OS, tablet Amazon dan Fire Phone kurang diminati pasar. Android dan iOS bisa menguasai pasar karena mereka sudah berhasil menumbuhkan ekosistem yang berurat akar pada pengguna smartphone.
Sekalipun Huawei berhasil mengembangkan sistem operasi sendiri, itu akan memakan waktu bertahun-tahun untuk menyempurnakan pengalaman pengguna pada smartphone yang menjalankan OS HongMeng.Â
Konsumen tidak membeli telepon untuk sistem operasi. Mereka menginginkan ponsel yang bisa menjalankan semua aplikasi yang ingin mereka gunakan.
Hongmeng mungkin akan sukses dan populer di Cina, sebagaimana Baidu yang bisa menggantikan Google Search. Cina memang memiliki ekosistem aplikasi sendiri yang sangat populer, tetapi itu hanya di Cina.
 Sementara di luar Tembok Besar, hampir semua aplikasi Android populer berasal dari Google atau dari perusahaan yang berbasis di AS. Aplikasi ini adalah jantung pengalaman pengguna smartphone mana pun saat ini.
Karena itu, sanksi dagang yang dikeluarkan Donald Trump memang sangat memukul Huawei. Pasalnya, hampir setengah dari volume ponsel pintar Huawei dijual luar Cina dengan portofolio ponsel pintarnya berjalan di Android dengan Google Mobile Service (GMS).Â
Namun, Huawei masih bisa sedikit bernafas lega karena meskipun ada pembatasan, Huawei diizinkan mempertahankan akses ke AOSP --- bagian open source Android, tapi minus layanan Google --- dan telepon yang saat ini berada di tangan konsumen akan terus mendukung Google Play Service dan layanan keamanan Google Play Protect, serta menerima pembaruan keamanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H