Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Hilangnya Kejujuran Ilmiah dalam Budaya Literasi Kita

20 Juni 2019   21:53 Diperbarui: 29 Juni 2021   11:27 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejujuran ilmiah yang diusung ulama dan cendekiawan Muslim masa lalu melahirkan proses pemetaan data perkataan yang begitu lestari yang ditimbulkan dari adanya penukilan sumber atau referensi pada setiap perkataan atau perbuatan orang lain. Ini bisa kita lihat dalam proses periwayatan Hadis. Bukan dalam bentuk pelestarian kertas-kertas yang mungkin saja hilang, tetapi lebih kepada bagaimana ketatnya kriteria huruf per huruf yang sampai juga berasal dari siapa deretan kalimat tersebut.

Apa yang diterima bukanlah berdasar atas apa yang disuka. Walau pahit sekalipun, jika benar ia berasal dari sumber perkataan itu, niscaya seharusnya ia diterima. Ujungnya, terbangun sebuah sistem database dengan tingkat keotentikan yang sangat tinggi. Inilah mengapa otentitas sebuah Hadis bisa dijaga sampai jaman sekarang sekalipun banyak yang mencoba memalsukannya.

Kejujuran ilmiah juga melahirkan pernyataan "Allahu a'lam" (Allah lebih mengetahui) setiap kali para cendekiawan muslim masa lalu merampungkan suatu karya ilmiah. Seseorang yang disodorkan padanya suatu pertanyaan yang tidak ia ketahui jawabannya, ia hanya mempunyai tiga pilihan:

Pertama, menjawab dengan membohongi dirinya sendiri serta si penanya. Kedua, berusaha meyakinkan dirinya dan si penanya dengan memberikan jawaban yang tidak pasti berdasarkan hasil dugaan semata. Dan yang ketiga, bersikap jujur dengan berkata "Saya tidak tahu".

Sikap seperti inilah yang tertanam di kalangan ilmuwan Muslim masa lampau. Hingga diceritakan, empat puluh pertanyaan pernah diajukan pada Imam Malik, dan tiga puluh enam diantaranya dijawab dengan "Saya tidak tahu".

Dari hilangnya kejujuran ilmiah ini, akhirnya timbul sikap permisif terhadap aksi plagiasi.  Para pelaku plagiat ini seolah merasa aktivitas menjiplak langsung tanpa menyertakan sumber resminya ini adalah hal yang wajar. Karena ya itu tadi, tidak adanya nilai kejujuran ilmiah yang ditanamkan dalam budaya literasi kita.

Baca juga: Membangun Masyarakat Merdeka Melalui Budaya Literasi di Era Revolusi Industri 4.0

Hilangnya kejujuran ilmiah juga menimbulkan gelombang isu, informasi bahkan fatwa agama yang keliru dan menyesatkan. Sekian banyak di antara kita yang berbicara tentang segala macam ilmu umum atau agama seakan-akan tidak dikenal lagi spesialisasi. Sekian banyak di antara kita yang menjawab dengan sangat fasih dan lancar, atau terlibat dalam pembicaraan yang kita tidak ketahui pangkalnya. Seolah semua orang sudah menjadi pakar dalam segala bidang.

Tidak ada yang salah dengan perbuatan menulis ulang sebuah karya, mengutip sebagian atau seluruhnya, selama kita mencantumkan sumbernya, darimana pernyataan atau tulisan itu berasal. Selain sebagai bentuk penghargaan pada penulis aslinya, setidaknya kita membantu dalam pelestarian ide dan karya tulis tersebut. Lebih dari itu, kita juga membantu si penulis asli dalam kesempatan memperoleh pahala berkelanjutan dari ilmu dan pengetahuan yang sudah ia bagikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun