Minggu kedua bulan Ramadan ini adalah minggu ujian bagi siswa SD kelas 1-5 di Kota Malang. Mulai senin (5/4), para siswa melaksanakan ujian akhir semester. Karena sedang ujian, jam belajar mereka pun jadi lebih pendek. Waktu pulang mereka lebih maju, biasanya jam 10.00 sudah selesai.
Tapi ini tidak berlaku di SDN Ksatrian 2, Blimbing Kota Malang, setidaknya untuk hari Senin ini. Sebelum berangkat, anak saya sudah berpesan bahwa nanti pulangnya jam 12.00 karena ada penilaian Adiwiyata. Saya pun mengiyakan, dan masih memaklumi karena sekolah mungkin ingin menunjukkan suasana dan kondisi sekolah dengan sebaik-baiknya pada Tim Penilai Adiwiyata Tingkat Povinsi yang hari itu dijadwalkan datang untuk menilai.
Namun, permakluman itu berubah menjadi kejengkelan. Saat menjemput anak saya pukul 12.00, saya mendapat informasi bahwa tim penilai Adiwiyata baru datang siang itu juga. Saya bisa membayangkan, berapa lama lagi murid-murid di sekolah harus ditahan dan belum diperbolehkan pulang?
Benar saja. Hingga pukul 12.30, belum ada tanda-tanda acara penilaian selesai. Sementara saya lihat dari luar pagar sekolah, para siswa dibiarkan bermain di tengah lapangan, dalam posisi berbaris santai.
Saya merasa ini sudah diluar batas kewajaran. Minggu ini adalah minggu ujian. Semestinya para siswa punya banyak waktu untuk belajar di rumah dan tidak dilibatkan dalam kegiatan di sekolah selain belajar. Kapan mereka bisa istirahat dan belajar jika sampai tengah hari mereka masih dipaksa berada di sekolah?
Apalagi ini bulan puasa. Meskipun tidak ada aktivitas yang berat, tapi lebih baik bila di waktu matahari sedang bersinar terik itu para siswa diijinkan pulang untuk beristirahat. Dengan begitu mereka bisa menjaga kondisi untuk persiapan belajar dan ujian lagi esok harinya.
Beberapa orang tua siswa yang sedang menunggu juga menggumamkan hal yang sama. Intinya, mereka tidak setuju dengan proses penilaian Adiwiyata yang dilakukan saat para siswa sedang ujian, apalagi di bulan Puasa.
Saya lantas berinisiatif untuk menemui staff guru di dalam. Tapi, ternyata semua guru dan kepala sekolah sedang ada pertemuan dengan tim juri. Ketika itu saya melihat ada tim penilai yang sedang berada di luar ruangan. Saya pun menanyakan, sampai kapan para siswa diharuskan menunggu di sekolah?
Saya mengatakan pada anggota tim juri tersebut, situasi hari ini di luar kewajaran, dan melanggar kesepakatan jam belajar selama bulan Ramadan. Akhirnya, oleh anggota tim juri tersebut, saya diperbolehkan untuk menjemput anak saya dan akan memberi tahu pada kepala sekolah. Beberapa orang tua siswa yang lain akhirnya mengikuti saya ikut menjemput anak mereka, meski proses penjurian belum selesai.
Saya tidak tahu, apakah inisiatif waktu penilaian Adiwiyata di saat para siswa sedang ujian dan di bulan puasa datang dari pihak sekolah atau tim penilai tingkat provinsi. Namun, siapapun yang sudah menyusun jadwalnya, ini tidak dapat dibenarkan.
Seyogyanya, penjurian Adiwiyata dilakukan ketika sekolah sedang dalam proses belajar mengajar yang sebenarnya. Apakah tidak ada waktu lain sehingga harus mengorbankan siswa yang sedang ujian dalam kondisi berpuasa?
Tugas siswa di sekolah adalah belajar. Program Adiwiyata diadakan justru untuk menciptakan kondisi sekolah yang ideal bagi kegiatan belajar mengajar, dengan berbasis pendidikan lingkungan hidup. Dan itu sudah menjadi tugas dan kewajiban pihak sekolah. Karena itu, tidak sepatutnya siswa harus diikutkan dalam proses penilaian, terlebih lagi harus mengorbankan waktu istirahat dan waktu belajar mereka di rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H