Rasulullah Saw pernah bersabda, yang artinya, "Iman seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga hatinya istiqamah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga lisannya istiqamah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, ia tidak akan masuk surga." (H.R. Ahmad no. 12636).
Hadist Rasulullah tersebut memberi petunjuk pada kita bahwa istiqomahnya iman itu dimulai dari ujung lidah. Kalau lidah kita bisa istiqomah, maka iman kita juga akan tetap terjaga. Karena itu, ada sebuah ungkapan dalam bahasa Arab yang menyatakan, salamatul insan fi hifzhil lisan, selamatnya manusia tergantung pada lisannya.
Setiap ucapan kita senantiasa dicatat oleh Malaikat
Dalam Al Quran, Allah juga sudah memberi kita peringatan tentang lisan dan perkataan yang kita ucapkan.
 "Tidak ada suatu ucapan yang diucapkan seseorang melainkan ada di dekat (pengucap)nya (malaikat) pengawas yang selalu hadir (mencatat ucapannya tersebut) (QS. Qaf/50:18)".
Menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya, Â "pembicaraan" dalam bahasa Al Quran dinamai Kalam. Dari akar kata yang sama dibentuk pula kata yang berarti "luka", agar menjadi peringatan bahwa Kalam juga dapat melukai. Ini semua seharusnya mengantarkan seseorang untuk selalu berhati-hati, memikirkan, dan merenungkan apa yang akan diucapkan.Â
"Kamu menawan apa yang akan kamu ucapkan. Tetapi begitu terucap, maka kamu lah yang menjadi tawanan."
Transformasi ucapan, dari lisan turun ke jari
Dengan berkembangnya teknologi sekaligus kemajuan peradaban manusia, seseorang dalam menyampaikan pembicaraan atau pendapatnya tidak lagi menggunakan lisan, melainkan bergeser menggunakan jari! Kehadiran internet, smartphone dan media sosial memungkinkan kita semua memasuki sebuah budaya baru, yakni budaya berbicara dan menyampaikan pendapat melalui ketikan jari.
Karena itu, supaya sesuai dengan peradaban modern masa kini tersebut, penggalan hadist Nabi SAW diatas bisa kita maknai narasinya menjadi "hati seorang hamba tidak akan istiqamah hingga jarinya istiqamah (dalam kebaikan)". Karena hati kita tidak istiqamah, otomatis iman kita pun tidak bisa istiqamah pula.
Mulanya, internet, gawai dan media sosial di dalamnya diciptakan untuk memudahkan kita berkomunikasi, berinteraksi, memberi dan mencari informasi. Sebagaimana setiap ciptaan manusia lainnya, internet, gawai, dan media sosial ibaratnya sebuah pisau. Bila digunakan dengan bijak, ia bisa bermanfaat. Namun bila disalahgunakan, ia akan membawa dampak yang buruk, yang bahkan keburukannya itu bisa mengalir terus menerus.
Kebersihan hati tergantung ketukan jari di media sosial
Sayangnya, kita sendirilah yang pada akhirnya banyak menyalahgunakan dan menyimpangkan kemudahan yang diberikan teknologi tersebut. Wujud dari penyimpangan di internet dan terutama media sosial ini berupa tersedianya konten-konten yang mengarah kepada kebencian, kekerasan, radikalisme, dan terorisme yang dapat mengancam kemanusiaan. Belum lagi maraknya informasi hoaks yang mengarah pada fitnah, kejahatan siber, hingga konten pornografi.