Seseorang yang mampu mengendalikan kebutuhan paling dasar ini diharapkan mampu pula menahan dan mengendalikan dorongan naluriah atau hawa nafsu lain yang justru berada di peringkat bawah dibandingkan kebutuhan jasmani tadi. Itulah sebabnya mengapa syarat sahnya puasa dalam ajaran islam adalah "menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual."
Secara dhohir atau kasat mata, kita terlihat sudah menjalankan ibadah puasa. Kita mampu menahan diri untuk tidak makan, minum dan berhubungan seksual dalam batas waktu yang ditentukan syariat agama. Apakah dengan demikian kita sudah menjadi orang yang bertakwa?
Ternyata belum sepenuhnya. Kita memang sudah mampu menahan diri untuk tidak makan, minum dan berhubungan seksual. Tapi sebagian besar dari kita yang berpuasa tidak mampu untuk menahan diri dari nafsu-nafsu yang lain yang bahkan lebih kecil. Banyak muslim yang meskipun badannya puasa, tapi rohaninya tidak mampu menghindari larangan-larangan Allah yang lain.
Tidak boros dan tidak berlebihan, bentuk Takwa yang sederhana.
Contoh kecil dari ketidakmampuan kita untuk menahan diri dan menghindari larangan Allah yang lain, Â yang sering kita lakukan sehari-hari meskipun kita sudah "puasa" adalah larangan Allah untuk tidak boros. Â
"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan." (QS. Al Isro': 26-27).
Bukalah lembar catatan puasa kita di bulan Ramadan tahun-tahun sebelumnya. Adakah kita tidak berlaku boros? Adakah pengeluaran kita di bulan Ramadan lebih hemat dibandingkan bulan-bulan yang lain?
Jujur saja, kita justru semakin boros di bulan Ramadan. Pengeluaran bulanan kita jauh lebih banyak di bulan Ramadan. Hamparan makanan dan minuman yang tersaji di meja makan kita jauh lebih beragam dan lebih melimpah dibandingkan bulan-bulan biasa.
Mengapa sampai terjadi kontradiksi, antara praktik fiqh puasa dengan praktik ekonomi selama Ramadan seperti ini? Mengapa kita menjadi lebih konsumtif di bulan Ramadan?
Karena pada dasarnya kita tidak memaknai arti puasa dengan sebenar-benarnya. Puasa kini kita artikan hanya sebatas ritual menahan lapar , dahaga dan dorongan seksual belaka dalam jangka waktu tertentu. Ketika waktu itu sudah selesai, kita pun melepas dorongan  kebutuhan jasmani yang sudah kita tahan hampir setengah hari itu sebebas-bebasnya. Beli ini beli itu secara berlebihan. Puasa kita adalah puasa balas dendam.
Jika untuk larangan Allah yang paling sederhana saja- "jangan boros/berlebih-lebihan"- kita sering melanggar dan tidak mempedulikan, Â bagaimana kita bisa meraih gelar takwa? Bagaimana kita bisa mewujudkan harapan kita untuk menjadi manusia yang bertakwa?