Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Adilkah Menghukum Pelaku Perundungan Audrey di Media Sosial?

10 April 2019   22:03 Diperbarui: 11 April 2019   11:06 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perundungan di media sosial (sumber ilustrasi: elpais.com)

 Netizen Indonesia meradang. Seorang terduga pelaku perundungan Audrey, pelajar SMP di Pontianak membuat Instastory dengan mode Boomerang saat diperiksa di kantor polisi. Dengan wajah tanpa rasa bersalah, terduga pelaku lantas mengunggahnya ke akun Instagram.

Aksi terduga pelaku tak pelak membuat geram netizen. Tagar #JusticeForAudrey menggema. Petisi online dibuat hingga menembus 2 juta tanda tangan. Akun media sosia si pelaku kemudian diretas. Foto-fotonya kemudian tersebar luas di media sosial. Salah satunya mampir di beranda media sosial saya. Seorang teman membagikan kiriman foto terduga pelaku tersebut dari laman Facebook Dikala Anda Sedang Menonton TV Sendirian.

Dibawah foto-foto tersebut diberi caption "Biar bisa jadi selebgram sekalian". Maksudnya jelas, laman Facebook tersebut menyindir aksi pelaku membuat instastory di kantor polisi yang dianggap hanya ingin mencari popularitas belaka.

Yang membuat saya merasa miris dan merinding adalah komentar dari netizen yang menyertai kiriman foto terduga pelaku tersebut. Nyaris semuanya mengarah pada Sexual Harrashment. Wajah pelaku yang menurut netizen rupawan dijadikan bahan imajinasi liar, seliar-liarnya.

Ini semua tak lepas dari informasi yang disebar media massa. Bahwa kasus tersebut terjadi karena masalah pacaran, dan bahwa para pelaku sampai melakukan kekerasan pada organ vital Audrey. Padahal menurut laporan hasil visum yang dipaparkan Kapolres Pontianak, Kombes M Anwar Nasir dalam jumpa pers, tidak ada luka di organ kelamin Audrey. Dari hasil visum, kepala korban tidak bengkak dan tidak ada benjolan. Tidak ada memar di mata dan penglihatan normal.

"Dada, tidak ada memar dan bengkak. Jantung dan paru-paru normal. Perut datar, bekas luka tidak ditemukan. Organ dalam abdomen tidak ada pembesaran," ungkapnya.

Anwar mengatakan, dari pengakuan korban, terduga pelaku sempat menekan alat kelamin korban. Berdasarkan hasil visum, tidak ada bekas luka di alat kelamin.

Tapi, tanpa menunggu hasil visum resmi, media dan netizen sudah membuat kesimpulan sendiri. Media dan netizen sudah menghakimi terduga pelaku dengan ilustrasi yang lebih menyesatkan.

Perundungan yang berbuntut penganiayaan pada Audrey memang tidak dapat dibenarkan. Sekalipun pelakunya sebaya dan bisa berlindung di balik Undang-Undang Perlindungan Anak. Begitu pula dengan perilaku mengunggah instastory saat diinterogasi polisi. Ini adalah bentuk cacat moral.

Namun, apakah dengan menghukum pelaku di media sosial, mengunggah foto-fotonya untuk bisa dikonsumsi publik secara luas adalah bentuk keadilan bagi para pelaku?

Sebagian besar dari kita mungkin akan berpikir dan menjawab: Ya. Hukuman itu setimpal dengan aksi tak bermoralnya. Hukuman itu bisa memberi efek jera pada pelaku sekaligus pada keluarganya. Hukuman itu juga sebagai bentuk peringatan dan pembelajaran pada remaja-remaja lain, untuk tidak lagi merundung teman hanya gara-gara masalah sepele: pacaran!

Secara jangka pendek, menghukum pelaku di media sosial mungkin bisa memberi efek jera pada mereka. Wajah-wajah mereka sudah dikenal seantero jagad maya. Tak hanya itu, jutaan komentar hujatan yang mungkin tak pernah pelaku alami dan bayangkan sebelumnya menjadi mimpi buruk bagi mereka, sekaligus keluarganya.Kita bisa membayangkan sendiri bagaimana nantinya kehidupan pelaku dan keluarganya di dunia nyata. Rasa malu yang tak terperikan.

Apakah hal ini yang kita inginkan sebagai hukuman setimpal bagi pelaku? Karena di dunia nyata mereka bisa berlindung di balik usia mereka yang masih anak-anak, lantas kita menghukum mereka di dunia maya dengan hukum orang dewasa.

Jika berpikiran seperti itu, ternyata kita tak ubahnya pemangsa. Di balik peran kita sebagai hakim, kita menunjukkan wajah sebagai predator bagi pelaku. Jika kita berpikir dengan mengunggah wajah pelaku di media sosial, lantas itu diharapkan bisa dijadikan pelajaran bagi anak-anak seusia pelaku, ini adalah pemikiran yang salah arah. 

Bagaimana tidak, kita mengutuk aksi perundungan yang dilakukan pelaku, sementara di satu sisi sekaligus kita malah memberi contoh bagi generasi usia mereka, bagaimana caranya merundung balik di media sosial.

Perlu diingat bagi netizen, bahwa terlepas dari anggapan mengunggah foto pelaku adalah bentuk "hukuman" di media sosial, identitas pelaku/saksi pelaku tindak kriminal yang masih berusia anak-anak wajib dirahasiakan. 

Hal ini diatur dalam UU 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pasal 19 ayat (1) yang menyebutkan identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. Pasal 19 Ayat (2) menyebutkan, identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi.

Satu pelajaran penting yang bisa dipetik dari kasus Audrey, adalah pentingnya pendidikan kewarganegaraan digital. Terutama aspek Digital Empathy (Empati Digital). Yakni kemampuan untuk menunjukkan empati terhadap kebutuhan dan perasaan diri sendiri dan orang lain secara online. Bagaimanapun juga, kasus Audrey bermula dari kehidupan sosial anak-anak di dunia digital.

Terhadap anak-anak muda ini, pemerintah selalu giat menekankan pentingnya literasi digital. Tapi itu hanya kulit luarnya saja. Literasi digital tidak akan banyak berfaedah jika tidak didahului oleh pendidikan kewarganegaraan digital sebagai pondasinya.

Dan yang paling penting adalah, kita harus memulai pendidikan kewarganegaraan digital dalam lingkup pengaruh kita sendiri: orang tua di rumah, guru di kelas mereka, dan para pemimpin di komunitas mereka. Tidak perlu menunggu. Bahkan, tidak ada waktu untuk menunggu.

Dalam beberapa artikel, saya memang selalu menekankan pentingnya pendidikan kewarganegaraan digital. Ini karena anak-anak kita sudah tenggelam dalam dunia digital begitu dalamnya hingga bisa mempengaruhi seperti apa dunia nyata mereka itu besok. 

Terserah kepada kita untuk memastikan bahwa setidaknya mereka dilengkapi dengan keterampilan dan dukungan untuk menjadikan dunia digital sebagai tempat di mana mereka dapat berkembang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun