Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Debat Keempat, Siapa Capres yang Bisa Mempersatukan Kita Kembali?

29 Maret 2019   22:25 Diperbarui: 29 Maret 2019   22:33 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: detik.com

Teman lama dipertemukan oleh Facebook

Dipererat oleh Whatsapp

Dipisahkan oleh pilpres

Meme tersebut seminggu ini bersliweran di beranda media sosial. Isinya terasa menohok di hati. Memang benar apa yang dikatakan dalam meme itu. Seumur-umur mengalami pesta demokrasi, baru 2 kali pilpres inilah tensi perpecahan semakin terasa.

Jujur saja, semenjak pilpres 2014, banyak teman (terutama yang sering/hanya bisa ketemu di dunia maya) merenggangkan ikatan tali silaturahimnya. Karena beda pilihan, yang semula kawan bisa jadi lawan. Persahabatan rusak, grup pertemanan bubar. Rasa persatuan seolah memudar.

Apa yang membuat kita semakin lama semakin menjauh satu sama lain? Narasi demi narasi yang dilontarkan masing-masing pendukung capres bisa jadi salah satu penyebab utamanya. Rasa fanatik buta, kultus individu, hingga glorifikasi berlebihan dengan menjatuhkan pihak yang berseberangan terus diumbar.

Memang, tidak semua pendukung bersikap fanatik buta. Yang cenderung menutup logika dan nalar sehatnya. Apapun yang datang dari calon presidennya akan dibela membabi buta. Apapun yang datang menyerang calon presidennya akan dilawan. Tidak peduli apa substansinya yang penting melawan yang tidak sejalan.

Tak sedikit pula pendukung yang masih bersikap kritis dan cerdas. Mereka biasanya selalu menyaring setiap informasi, baik itu yang datang dari calon pilihannya, maupun yang datang dari pihak yang berseberangan. Kritik dan fitnah terhadap calon pilihannya tidak membuat mereka bereaksi berlebihan yang pada akhirnya justru akan mendatangkan kerugian.

Namun, harus diakui bibit perpecahan itu terasa semakin nyata. Secara lahiriah, kita memang masih dipersatukan dalam sebutan Warga Negara Indonesia. Tapi secara batiniah, kita terpisah. Antara nomor 01 dan 02, antara keluarga kecebong atau keluarga kampret.

Melihat situasi seperti ini, banyak pihak yang mengkhawatirkan, bagaimana nasib persatuan bangsa kita pasca pemilu 2019? Bagaimana nasib ideologi kebangsaan kita usai pilpres 2019 nanti? Akankah kita tetap terkotak-kotak hingga 5, 10 atau beberapa puluh tahun lagi?

Pertanyaan itu bukanlah bentuk paranoid, kekhawatiran yang berlebihan. Fakta yang terjadi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kita belakangan ini bisa menegaskan kekhawatiran tersebut.

Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa jadi sangat tergantung dari siapa yang akan terpilih menjadi pemimpin kita 5 tahun kedepan. Kisi-kisi jawabannya bisa kita lihat dalam debat keempat calon presiden yang salah satu temanya adalah tentang ideologi. Debat keempat ini rencananya akan berlangsung pada Sabtu, 30 Maret 2019 di hotel Shangri La, Jakarta.

Paparan dari kedua capres tentang ideologi dalam debat keempat setidaknya bisa memberi kita gambaran, siapa capres yang bisa mempersatukan kita kembali. Seperti apa solusi yang ditawarkan kedua capres untuk merajut kembali benang-benang persatuan yang saat ini boleh dibilang tengah terkoyak akibat kontestasi pemilu.

Di luar tema lain seperti Pertahanan dan Kemanan, Pemerintahan dan Hubungan Internasional yang juga bakal dikupas habis oleh kedua capres, saya merasa tema ideologi ini lebih penting. Semua visi, misi dan berbagai tema yang sudah dipaparkan kedua kandidat akan menjadi tidak berarti bila tidak diimbangi dengan kuatnya pondasi ideologi dalam masyarakat kita.

Belakangan ini, ideologi bangsa kita semakin tergerus. Ada yang merasa paling NKRI, hingga menuduh pihak yang berseberangan adalah kelompok radikal. Ada yang merasa paling agamis, hingga tidak mau berjabat tangan dengan mereka yang tidak sepaham. Sikap toleransi yang menjadi salah satu pilar karakter bangsa kini hanya menjadi kata-kata pemanis saja.

Parahnya lagi, para elit politik turut memperkeruh suasana dengan melontarkan wacana yang mengada-ada. Mantan KaBIN A.M Hendropriyono misalnya, menyebut pemilu 2019 ini adalah pertarungan ideologi Pancasila melawan ideologi Khilafah.

Suatu pernyataan yang sangat tendensius, tidak beralasan sama sekali. Hendropriyono kiranya tidak memikirkan dampak jangka panjang dan efek domino dari pernyataannya tersebut, yakni potensi perpecahan yang mengarah pada disintegrasi bangsa.

Ketika Prabowo mengatakan Indonesia bisa bubar di tahun 2030, banyak yang bilang Prabowo paranoid, pesimis dan menebar ketakutan. Padahal, apa yang dikatakan Prabowo tersebut adalah sebuah kajian intelektual, meskipun harus diakui pernyataannya itu disandarkan pada teks sebuah buku fiksi.

Lantas, bagaimana dengan mereka yang berandai-andai jika Prabowo-Sandi menang ideologi Khilafah akan berdiri tegak? Bagaimana dengan mereka yang dulu pernah berandai-andai Anies Baswedan-Sandiaga Uno jadi pemimpin di Jakarta maka Ibukota akan seperti Suriah?

Sungguh ironis sekali ketika pemerintah diharapkan bisa menyelenggarakan pemilu yang damai, sejuk, aman, tenteram, sesuai dengan ideologi Pancasila, namun justru sebagian dari pihak pemerintah yang menggiring dan mengarahkan pada situasi yang bertentangan dengan asas dan semangat pemilu itu sendiri.

Semua visi dan misi dari masing-masing capres, apabila kelak terpilih rasanya akan percuma saja dan tidak akan banyak berguna bagi rakyat Indonesia, bila semangat persatuan dan kesatuan diantara kita tidak dijaga. Pembangunan yang dilakukan pemerintah terpilih tidak akan dirasakan dampak nyatanya bila masyarakatnya sendiri masih terkotak-kotak.

Yang menang akan semakin jumawa, merasa pemerintahan ini milik mereka. Merasa pembangunan yang sedang dilakukan hanya mereka sendiri yang boleh menikmati. Sementara yang kalah akan semakin terpinggirkan, dan dikhawatirkan justru akan menumbuhkan benih-benih kebencian pada pihak pemenang.

Mengingat betapa urgensinya kita menjaga rasa persatuan yang sudah hampir terkoyak ini, sangat patut apabila dalam memilih pemimpin negara ini lima tahun kedepan, narasi dan solusi tentang bagaimana cara mempersatukan semua elemen anak bangsa menjadi salah satu poin pertimbangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun