"Dengan identifikasi tertentu seperti menggunakan baju putih artinya menabrak asas pemilu yang tidak lagi rahasia karena kita sudah tahu bahwa yang datang ke TPS itu baju putih itu [pendukung] Jokowi," ucap Ferdinand.
Mari tepikan sejenak emosi kita dan pergunakan akal sehat. Akuilah bahwa apa yang dikatakan Ferdinand Hutahean memang benar. Dengan meminta pendukungnya memakai baju serba putih, semua orang yang hadir di TPS akan tahu bahwa mereka pasti akan memilih calon presiden nomor urut 01.
Sekarang, coba bayangkan apabila ada pemilih yang memakai baju putih datang ke TPS di lokasi yang dikenal sebagai basis pendukung Prabowo. Atau sebaliknya, ada pemilih yang tidak memakai baju putih datang ke TPS di lokasi basis pendukung Jokowi yang saat itu sedang berbaju putih semua. Bukankah potensi konflik akan jelas terbayang?
Terlebih lagi, saat pencoblosan nanti, TPS harus steril dari berbagai hal yang mengarah pada dukungan atau intimidasi pada pasangan calon tertentu. Tak boleh ada alat peraga kampanye, tak boleh ada simbol-simbol yang menunjuk pada atribut salah satu pasangan. Hanya para saksi yang diperkenankan mengenakan atribut yang menunjukkan identitas mereka sebagai saksi dari pasangan yang mana.
Silahkan menghimbau dan memberikan arahan pada pendukung untuk memilih. Tapi tidak untuk menginstruksikan mereka memakai atribut yang menunjukkan simbol pilihan dan mengarah pada identifikasi mereka saat hari pencoblosan nanti.
Jas hitam adalah pakaian resmi nasional di Acara Resmi Kenegaraan
Pernyataan Jokowi yang menyindir kandidat nomor urut 02 karena mengenakan jas di foto surat suara juga mendangkalkan akal sehat saya. Â Ok, jas memang bukan trade mark budaya asli Indonesia. Tapi, apakah perlu menyerang rival dengan materi yang sepele seperti ini?
Seolah-olah, orang yang memakai jas itu tidak mencerminkan budaya Indonesia. Dan karenanya, lebih baik memilih dirinya yang memakai baju putih. Padahal, banyak pemimpin bangsa kita terdahulu, para founding father seperti Soekarno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantoro kerap memakai jas dalam pertemuan-pertemuan resmi. Apakah lantas para pahlawan bangsa itu tidak berbudaya Indonesia?
Jokowi lupa, saat pilpres 2014, dia dan pasangannya Jusuf Kalla mengenakan setelan jas di foto surat suara. Sementara Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Radjasa malah mengenakan pakaian putih. Sekarang, karena dia mengenakan baju putih, fakta itu diputarbalikkan sendiri.
Jokowi lupa, foto presiden dan wakil presiden yang ada di setiap kantor pemerintah hingga sekolah-sekolah juga memakai setelan jas, bukan baju putih. Apakah lantas presiden dan wakil presiden ikut-ikutan berbudaya eropa?
Terakhir, Jokowi lupa bahwa dia sendiri yang menandatangani PP nomor 71 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa pakaian resmi nasional yang harus dikenakan pada acara resmi kenegaraan adalah jas hitam dengan kemeja putih.
 Sebagai calon presiden incumbent, Jokowi diharapkan bisa berkampanye dengan narasi yang sejuk, yang mengajak semua masyarakat menikmati pesta demokrasi lima tahun sekali ini. Sayangnya, mendekati akhir masa kampanye, narasi kampanye Jokowi tidak menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang negarawan besar.Â