Tidak ada narasi tunggal sebagaimana yang dulu pernah ia bawa saat kampanye pilpres 2014. Pada masa itu, Jokowi terlihat mirip dengan Obama, menjual kisah harapan dan perubahan. Sayangnya, bahasa yang ia gunakan terlalu hiperbolis.
Tentunya kita ingat beberapa pernyataan Jokowi seperti: Â "Jika jadi presiden, banjir dan macet di Jakarta lebih mudah diatasi", atau "Panggil programmer, 2 minggu selesai". Ini adalah sikap optimis yang kebablasan.
Lain halnya dengan Prabowo. Dia memiliki narasi tunggal dalam dongeng politiknya. Saat berpasangan dengan Megawati atau Hatta Radjasa, Prabowo menjual cerita tentang kemandirian bangsa.
Cerita ini nyaris diulanginya lagi pada pilpres 2019, masih berkisar tentang kemandirian bangsa. Namun kali ini dongeng politik Prabowo dianggap mirip dengan yang dibawakan Donald Trump: Make Indonesia Great Again. Bahwa Indonesia berantakan, dan melalui pemerintahannya bisa membuat Indonesia hebat kembali.
Prabowo kerap menyatakan Indonesia bisa "bubar" jika kondisi seperti ini dibiarkan berlarut-larut. Melalui narasi tersebut, lawan politiknya menganggap Prabowo menjual rasa pesimis. Melalui bahasa pendukungnya, apa yang dibawakan Prabowo itu bisa dianggap sebagai sikap waspada.
Dongeng Politik menentukan Elektabilitas?
Lantas, apakah dongeng politik tersebut bisa mempengaruhi dan menentukan sikap pilih masyarakat? Lebih khusus lagi, apakah dengan menjual dongeng politik tersebut bisa meningkatkan elektabilitas masing-masing?
Bisa saja, tergantung bagaimana narasi yang digunakan. Dengan kata lain, tergantung bagaimana Jokowi dan Prabowo membawakan dongeng politik mereka. Dalam sebuah rilis surveinya, Media Survei Nasional (Median) mengatakan Jokowi unggul di tingkat pemilih berpendidikan Sekolah Dasar dan tidak lulus SD. Sementara Prabowo unggul di tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Dongeng politik Jokowi mudah diterima para pemilih dengan tingkat pendidikan rendah. Cerita-cerita tentang kesederhanaan, tentang citra merakyat yang ditampilkan tim kampanye Jokowi terlihat sangat menarik bagi pemilih di tataran tingkat pendidikan ini.
Sementara dongeng politik Prabowo kurang bisa diterima oleh pemilih awam. Narasi tentang kewaspadaan yang dibawakan Prabowo lebih mudah dicerna oleh pemilih dengan tingkat literasi yang lebih tinggi.
Sebagaimana yang sudah diulas oleh Kompas, masa kampanye terbuka hingga 13 April nanti adalah masa penentuan bagi elektabilitas kedua kandidat. Bagaimana Jokowi dan Prabowo bisa menaikkan elektabilitas mereka, bisa saja tergantung dari dongeng politik yang dibawakan keduanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H