"Kenal aja kagak, main ke rumah juga enggak, apalagi menyapa kalau ketemu di jalan. Lah kok sekarang minta dipilih jadi wakil rakyat. Kok enak?"
Kata seorang teman sambil menggerutu sengit. Benar juga sih kata-katanya itu. Apakah kita rela mewakilkan aspirasi kita pada seseorang yang praktis tidak kita kenal sama sekali? Kenal dalam hal ini bukan sekedar tahu namanya saja loh ya.
Masih mending bila ada tetangga atau teman yang berada di daerah pemilihan (kita), mungkin kita bisa mempertimbangkan untuk memilihnya. Bagaimana bila semua daftar calon legislatif di dapil tidak ada yang kita kenal?
Zaman sudah Digital, Kampanye masih Tradisional
Bagaimana kita bisa mempercayai seseorang hanya dengan melihat dan membaca poster atau balihonya saja? Sementara hampir semua alat peraga kampanye itu isinya cuma slogan-slogan normatif dan "omong kosong" saja.
Saya yang melihat dan membacanya saja kadang merasa muak dengan bahasa-bahasa manis yang ada di baliho setiap caleg. "Melayani, bukan untuk dilayani". "Pilih Saya yang sudah pasti anti korupsi", dan berbagai macam kalimat bujuk rayu serta janji-janji (palsu) lainnya.
Mungkin para caleg itu masih berpikir masyarakat mudah termakan dan terpikat dengan slogan-slogan kampanye seperti itu. Tapi dengarkanlah Bapak, Ibu, Mas dan Mbak Caleg sekalian, kita sekarang ini hidup di jaman digital. Kita hidup dimana informasi sudah terbuka dan bisa diakses oleh siapa saja, kapan saja dengan cara apapun juga.
Jika anda, wahai para caleg sekalian masih mengandalkan pola kampanye yang sudah kuno itu, percayalah, anda hanya buang-buang tenaga dan uang untuk mencetak ratusan banner, baliho dan spanduk. Sementara peluang terpilihnya pada pemilu April 2019 nanti masih gelap. Karena anda harus bersaing dengan puluhan caleg lain untuk meraih simpati pemilih di daerah pemilihan anda.
Para pemilih sekarang ini sudah kritis, apalagi bila dapil anda berada di daerah perkotaan yang sebagian besar demografi konstituennya didominasi anak-anak muda yang melek informasi. Mereka ingin tahu seperti apa profil orang-orang yang hendak mewakili aspirasi mereka di kursi dewan perwakilan nanti.
Anda bisa jadi merasa kesulitan untuk mendatangi konstituen satu per satu dan memperkenalkan diri. Anda juga merasa sulit untuk mengumpulkan mereka dalam satu pertemuan besar, apalagi bila tidak ada "timbal balik" yang menggiurkan. Entah itu mengundang musisi dangdut atau menyiapkan amplop berisi lembaran-lembaran merah dan biru.
Lain halnya bila dapil anda berada di wilayah pedesaan. Yang konstituennya masih bisa anda datangi satu per satu, rumah per rumah. Yang konstituennya masih konservatif, asal nurut apa kata tokoh yang mereka segani dan hormati.