Saat menghadiri sidang perdana kasus ucapan "idiot" di Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (07/02), musisi Ahmad Dhani terlihat mengenakan kaos hitam bertuliskan Tahanan Politik.Â
Ini adalah sidang kedua yang dijalani Ahmad Dhani setelah sebelumnya dia diputus bersalah dalam kasus "cuitan di twitter" oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ahir bulan Januari lalu.
Dalam persidangan di Surabaya kali ini, Jaksa Penuntut menjerat Ahmad Dhani dengan pasal 45 ayat 1 jo 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurut Jaksa, Ahmad Dhani telah dengan sengaja membuat informasi yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
"Terdakwa telah membuat vlog bertempat di Hotel Mojopahit pada 2018 lalu," ujar Jaksa Dedy, Kamis (7/2). Dalam vlog tersebut, tambah jaksa, Ahmad Dhani menyebutkan kata-kata 'idiot' dengan menunjuk serombongan orang yang tengah berdemo di luar hotel tempat Ahmad Dhani menginap.
Dengan memakai kaos hitam bertuliskan Tahanan Politik, Ahmad Dhani secara tersirat ingin menunjukkan pada masyarakat bahwa dirinya bukan tahanan biasa. Ahmad Dhani ingin menunjukkan dia adalah korban politik dari rejim yang berkuasa sekarang.
Senada dengan Ahmad Dhani, juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Miftah N Sabri mengatakan meski Ahmad Dhani sedang terjerat hukum, keberadaannya sebagai salah satu juru kampanye BPN tidak berubah. Ahmad Dhani tidak dipecat seperti Ratna Sarumpaet.
"Kami anggap dia tahanan politik. Dhani maju terus di BPN," ucapnya saat ditemui Tempo di Rumah Tahanan Kelas I Cipinang, Jakarta Timur, Rabu, 30 Januari 2019.
Menilik dua kasus yang didakwakan kepada Ahmad Dhani, apakah benar status hukum atau status tahanan Ahmad Dhani itu adalah Tahanan Politik sebagaimana yang ingin dia perlihatkan pada publik?
KBBI mengatakan, Tahanan Politik adalah orang yang ditahan karena alasan politik. Sementara itu, mengutip penjelasan dari Wikipedia, Tahanan Politik atau sering disingkat Tapol adalah seseorang yang ditahan karena memiliki ide-ide atau pandangan yang dianggap menentang pemerintah atau membahayakan kekuasaan negara. Tahanan politik juga dapat ditahan karena tindakanya yang dianggap berlawanan dengan garis-garis pemikiran dan kebijakan pemerintah.
Istilah Tahanan Politik yang diakronimkan menjadi Tapol ini populer atau mulai muncul pada era Orde Baru. Meskipun kata "Politik" itu maknanya luas, dan istilah "Tapol" mencakup kasus "politik" yang luas pula, rezim orde baru seperti sengaja menempelkan istilah ini khusus pada tahanan yang tersangkut kasus G30S/PKI.Â
Sementara untuk tahanan politik lain yang kasusnya tidak tersangkut G30S/PKI cukup disebut "Tahanan" dengan ditambahkan keterangan kasus politiknya. Seperti "Tahanan kasus TimTim", "Tahanan kasus Tanjung Priok" dan lain-lain.Â
Begitu pula dengan tahanan kasus politik sebelum peristiwa G30S/PKI, tidak disebut sebagai tapol, misalnya "Tahanan Peristiwa Madiun", "Tahanan DI/TII" dan lainnya. Stempel Tapol yang dilekatkan pada tahanan yang tersangkut kasus G30S/PKI semakin kentara karena meskipun sudah dibebaskan, pada kartu identitas (KTP) mereka diberi keterangan "Eks Tapol".
Karena cakupan kasus politik itu luas, definisi pasti dari Tahanan Politik pun sepenuhnya subyektif. Pada masa rejim orde baru, dasar hukum yang menjerat seorang tahanan politik adalah pasal-pasal dalam UU No.11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi atau dikenal dengan sebutan UU Subversiv. UU ini sebenarnya dibuat pada masa pemerintahan Orde Lama, yang kemudian masih diteruskan penggunaannya oleh pemerintahan Orde Baru.
Setelah UU Subversiv dicabut melalui penerbitan UU nomor 26 tahun 1999, semestinya sudah tidak ada lagi pemakaian istilah Tahanan Politik. Namun, istilah itu kerap digunakan publik untuk menyebut para terdakwa atau terpidana yang dijerat dengan pasal makar dalam KUHP, yakni pasal 104, 106 dan pasal 107 KUHP.Â
Kasus terbaru dari "Terdakwa Politik" ini adalah penangkapan 8 orang atas dugaan pemufakatan makar yakni eks Staf Ahli Panglima TNI Brigjen (Purn) Adityawarman Thaha, mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zein, Ketua Solidaritas Sahabat Cendana Firza Huzein.Â
Turut ditangkap aktivis politik Ratna Sarumpaet, calon wakil Bupati Bekasi Ahmad Dhani, putri presiden pertama Presiden Soekarno, Rachmawati Soerkarnoputri, Sri Bintang Pamungkas dan Eko yang semuanya ditangkap pada Jumat 2 Desember 2016.
Dari contoh-contoh penggunaan istilah Tahanan Politik tersebut, tidak tepat apabila kemudian Ahmad Dhani menganggap dirinya sebagai Tahanan Politik. Dia tidak dijerat dengan UU Subversiv (karena sudah dicabut), juga tidak dijerat dengan pasal-pasal makar dalam KUHP.
Ahmad Dhani hanya tahanan biasa, yang dijerat dengan pasal-pasal UU ITE. Seandainya ada istilah "Tahanan Digital/Tahanan Kasus Digital", maka itulah istilah yang paling pas buat Ahmad Dhani, dan para terdakwa atau terpidana lain yang dihukum karena dakwaan yang dikenakan berdasarkan UU ITE.Â
Meskipun begitu, mau tidak mau kita harus mengakui penangkapan dan penahanan Ahmad Dhani mempunyai aroma politik yang kuat. Hal ini tak lepas dari momen dan peristiwa yang melatarbelakangi kasus tersebut yang terjadi di tengah kontestasi politik.
Ahmad Dhani boleh saja menganggap dirinya adalah tahanan politik karena dia menilai dakwaan terhadapnya diperoleh melalui "kekuasaan khusus" pihak yang menghakiminya. Anggapan seperti  ini bisa kita lihat jika membandingkan kasus Ahmad Dhani dengan kasus-kasus serupa.Â
Seperti perintah penahanan seketika meskipun pihak Ahmad Dhani sudah menyatakan banding. Berkaca dari kasus Buni Yani yang baru dieksekusi setelah kasasinya ditolak, Ahmad Dhani semestinya tidak bisa dikenakan penahanan karena status hukumnya belum inkracht.Â
Begitu pula dengan aspek penanganan hukumnya, yang menurut pihak Ahmad Dhani dirasakan sangat tidak adil apabila membandingkan dengan yang sudah dilakukan beberapa orang lainnya.
Kasus-kasus pelaporan dari pihak oposisi, seperti yang dilaporkan oleh Fadli Zon, atau kasus pelaporan terhadap Gubernur NTT Viktor Laiskodat hingga saat ini berhenti begitu saja.
Penilaian bahwa seseorang mengalami tahanan politik atau tidak itu dapat tergantung pada pandangan politik yang subyektif, atau pada cara menginterpretasikan bukti-bukti yang ada. Bagi Ahmad Dhani, dia adalah Tahanan Politik.Â
Namun bagi pihak yang menuntut dan menghakiminya, atau mereka yang berseberangan pandangan politiknya, Ahmad Dhani hanyalah tahanan biasa saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H