Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Metaverse Artikel Utama

Apakah Sudah Saatnya E-Sports Masuk Kurikulum Pendidikan Kita?

29 Januari 2019   08:57 Diperbarui: 29 Januari 2019   13:54 12389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi berpendapat esports harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan.

"Kurikulum harus masuk di sana, pelathhnya harus masuk di sana. Kalau sudah seperti itu, tentu harus bekerja sama, harus kolaborasi," kata Imam Nahrawi, Senin (28/01/2018) dikutip dari CNN Indonesia.

Pendapat Menpora ini seiring dengan semakin maraknya perkembangan e-sport di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Bahkan, esports sudah masuk dalam cabang olahraga yang dipertandingkan di Asian Games 2018 lalu meskipun baru sebatas eksibisi.

Imam Nahrawi juga mengatakan, Kemenpora sudah menyiapkan anggaran sebesar 50 milyar rupiah untuk menggelar kompetisi-kompetisi esports di level sekolah. Anggaran ini diharapkan sudah cair setidaknya setelah event Piala Presiden esports 2019 berakhir.

Esport, atau electronic sport adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan kompetisi bermain video game. Dunia e-sports profesional telah meledak selama beberapa tahun terakhir dan diperkirakan akan mencapai nilai hampir 5 miliar dolar dengan jumlah peminat global hampir 600 juta orang pada tahun 2020. Di Amerika Serikat, final League of Legends menjadi acara olahraga yang paling banyak ditonton dibawah acara Superbowl.

Dengan semakin booming-nya esports di kancah global, apakah sudah saatnya pemerintah kita memasukkan esports dalam kurikulum pendidikan?

Hingga saat ini, belum ada satu pun negara yang memasukkan esports dalam kurikulum pendidikan nasional. Di Amerika Serikat saja, belum ada satu negara bagian yang menyetujui bermain gim dianggap sebagai "olahraga resmi" yang bisa dimasukkan dalam mata pelajaran olahraga di sekolah.

Meskipun begitu, wacana untuk memberlakukan esport sebagai salah satu jenis "olahraga" di sekolah terus diupayakan oleh beberapa sekolah dengan membentuk klub e-sport. Selain itu, juga ada beberapa organisasi e-sport lintas sekolah seperti High School Esports League (HSEL), High School Starleague (HSL) dan Youth Esports of America (YEA) yang giat melobi sekolah-sekolah supaya esports bisa dimasukkan dalam kategori olahraga sekolah, seperti basket atau sepakbola.

Karena itu, wacana yang dilontarkan Menpora Imam Nahrawi supaya e-sport bisa dimasukkan dalam kurikulum pendidikan di negara kita masih terlalu jauh untuk bisa segera direalisasikan. Wacana tersebut setidaknya harus dipersempit dahulu, kurikulum pendidikan mana yang dimaksud oleh Menpora? Apakah kurikulum pendidikan dasar, menengah atau tinggi?

Harus diakui, di dalam e-sport ada keterampilan dan nilai-nilai positif yang bermanfaat bagi para siswa. Esports tidak sekedar bermain gim saja.

Mengutip dari HSEL, "Esports membutuhkan banyak komunikasi dan koordinasi di antara para atlet. Ini memungkinkan mereka untuk berinteraksi lebih dalam dan melatih komunikasi yang efisien. Keterampilan ini diasah dalam permainan gim yang bisa menyiapkan siswa seumur hidup."

Di antara keterampilan yang dikembangkan melalui esports adalah: pemikiran strategis, kerja tim, kolaborasi, penetapan tujuan, persiapan, dan mengelola mental keberhasilan dan kegagalan - belum lagi refleks cepat.

Di luar itu, esport juga bisa memberi jalan bagi siswa untuk berkarir di beberapa bidang teknologi digital atau bisnis yang terkait esport lainnya. Seperti Pengembang Gim, Desain Grafis, Manajemen Tim Esport, Pemasaran Digital, Industri Video Streaming dan lainnya.

Jika yang dimaksudkan Menpora itu esport harus dimasukkan dalam kurikulum sekolah menengah hingga kurikulum pendidikan tinggi, wacana ini patut didukung. Namun, lebih tepatnya adalah dengan memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan vokasi, bukan kurikulum pendidikan secara umum. Selain itu, esport juga bisa dimasukkan dalam kegiatan ekstra kurikuler di tingkat SMA maupun Unit Kegiatan Mahasiswa di perguruan tinggi.

Dengan demikian, siswa dari sekolah menengah pertama akan memiliki lebih banyak pilihan untuk mengembangkan minat dan bakat mereka.

Di tengah arus industri kreatif digital serta bisnis esport yang tengah meledak, memasukkan esport dalam kurikulum pendidikan memang perlu, tapi harus dipertimbangkan dengan matang.

Salah satu kendala utama dari konsekuensi dimasukkannya esport ke dalam kurikulum pendidikan adalah masalah sarana penunjang pendidikan. Esport membutuhkan fasilitas berteknologi tinggi. Komputer  atau perangkat keras yang high-end serta jaringan internet yang cepat. 

Apakah ini sudah bisa dipenuhi oleh pemerintah? Jangan sampai bila esport dimasukkan kurikulum, yang menikmati hanya kalangan tertentu saja yang secara ekonomi mereka bisa memiliki fasilitas seperti itu.

Yang lebih utama lagi, anak-anak siswa sekolah dasar dan menengah pertama (SD-SMP) belum saatnya dibekali kurikulum atau keterampilan bermain gim. 

Anak-anak seusia mereka masih harus dikuatkan terlebih dahulu karakter bangsa kita yang mencakup nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kerja cerdas, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, senang membaca, peduli sosial, peduli lingkungan, dan tanggung jawab. 

Nilai-nilai semacam itu masih belum bisa didapatkan secara penuh dari sebuah aktivitas esport.

Dikhawatirkan, jika kurikulum ini digeneralisasikan ke semua tingkat pendidikan, malah akan merusak pendidikan karakter yang saat ini sudah menjadi pondasi pendidikan nasional kita.

Lebih jauh lagi, pemerintah (dalam hal ini Menpora atau Menkominfo) harus melihat bahwa penyelenggaraan pendidikan jangan terjebak pada pencapaian target sempit, yang hanya melakukan transfer of knowledge atau keinginan untuk mengikuti kehendak global. Melainkan perlu dengan sengaja (by design) mengupayakan terjadinya transformasi nilai untuk pembentukan karakter anak bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Metaverse Selengkapnya
Lihat Metaverse Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun