Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Jika Kamu Mencintai Bukumu, Biarkan Mereka Pergi

27 Januari 2019   21:28 Diperbarui: 2 Februari 2019   03:54 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: unsplash.com/@paul_schaffer

Memiliki perpustakaan pribadi dengan banyak koleksi buku adalah impian dari setiap book lovers. Tak terkecuali saya sendiri. Bayangan saya akan perpustakaan pribadi itu sebuah ruangan yang nyaman, dengan kursi sofa yang empuk serta berderet rak buku yang isinya buku semua.

Malahan, waktu SMP-SMA dulu saya punya keinginan yang sederhana; Nyambi kerja di sebuah persewaan buku, dimana saya bisa baca buku sepuasnya sembari menunggu penyewa datang.

Hobi membaca, kecintaan pada buku serta obsesi memiliki perpustakaan pribadi membuat saya mulai mengumpulkan buku. Sejak jaman SMA hingga sekarang, semua buku yang pernah saya beli masih terpelihara dengan baik.

Ragamnya pun bermacam-macam. Ada komik Monika, Detektiv Conan, Donal Bebek, hingga buku komik yang lebar-lebar semacam Smurf, Asterix atau Agen Polisi 212.

dokumentasi Himam Miladi
dokumentasi Himam Miladi
Tak ketinggalan beberapa buku non fiksi dari penulis-penulis ternama mulai dari Emha Ainun Najib, Arswendo, Jacob Utama, Gunawan Muhamad, Umar Kayam, Putu Wijaya serta literatur non fiksi lainnya.

Yang paling banyak tentu saja koleksi novel. Mulai serial Harry Potter, Percy Jackson, koleksi buku Dan Brown, Tom Clancy, Jeffrey Deaver, John Grisham, Agatha Christie, sampai buku-buku kecil cerita silat dari Kho Ping Hoo.

Saking cintanya pada koleksi buku tersebut, sewaktu ditugaskan di Bali selama hampir 1o tahun, sebagian besar koleksi itu saya bawa. Bukan karena takut hilang tak ada yang menjaga, tetapi karena saya sering membaca ulang koleksi-koleksi tersebut, meskipun jalan cerita atau sebagian besar isinya sudah hafal di luar kepala.

Apakah ratusan koleksi buku itu sudah membuat saya puas? Ternyata tidak. Saya benar-benar tidak puas. Selain rasa lapar ingin memiliki buku yang lain, ada satu ketidakpuasan yang pada dua tahun ini menyadarkan diri saya. Bahwa mengoleksi buku itu bukan sebuah bentuk kecintaan pada buku itu sendiri.

"If you love your books, let them go."

Kutipan ini saya baca di halaman situs BookCrossing. Sebuah kutipan dari The New York Times yang mengapresiasi program "pelepasan buku" supaya bisa dibaca orang lain. Bookcrossing sendiri adalah salah satu "keajaiban" perpustakaan masa kini.

Jika kamu mencintai bukumu, biarkan mereka pergi.

Seperti sebuah roman cinta sejati bukan? Bahwa mencintai itu tak harus memiliki.

dokumentasi Himam Miladi
dokumentasi Himam Miladi
Dari kutipan tersebut, saya sadar bahwa mengoleksi buku itu bukanlah sebuah bentuk kecintaan terhadap buku. Melainkan salah satu perwujudan dari rasa egois yang kita miliki. Saya merasa egois karena bermimpi ingin memiliki begitu banyak koleksi buku, sementara di luar sana ada jutaan anak dan orang lain yang tak punya kesempatan untuk membaca satu buku pun!

Bukankah kita sering mengkritik, mengulas dan membahas perihal rendahnya tingkat literasi dari masyarakat kita? Banyak yang mengaitkan rendahnya budaya literasi tersebut dengan mahalnya harga buku yang dijual di pasaran. Tapi, di satu sisi, dia terus menuruti egonya untuk membeli dan mengoleksi.

Kedengarannya ironis bukan? Meski harus diakui, tak sedikit pula pecinta buku yang punya jiwa sosial lebih. Mereka menjadi relawan literasi dengan mendirikan taman bacaan di kampung-kampung, di desa-desa dan tempat pelosok lainnya. Semua dengan biaya sendiri atau mengharapkan donasi dari dermawan pecinta buku lain.

Sejak membaca kutipan itu, saya mulai melepas satu per satu koleksi buku saya. Bukan untuk teman atau sahabat yang meminta. Tapi saya khususkan untuk para relawan literasi yang dengan kesadaran pribadi dan kolektif menginisiasi taman bacaan. Mengajarkan dan menularkan budaya membaca pada masyarakat kita.

Meskipun begitu, sisi egoisme saya ternyata masih mendominasi. Ada beberapa koleksi buku yang rasanya masih sayang untuk saya lepaskan ke "alam liar". Terutama buku-buku yang masuk kategori evergreen, alias tidak pernah bosan untuk dibaca ulang.

Seperti serial Harry Potter. Seratus kali saya membaca, seratus kali pula saya masih takjub dengan gaya penceritaannya. Atau buku kumpulan biografi paling fenomenal dari Michael H Hart.

Pada akhirnya saya memahami, bahwa rendahnya budaya literasi pada masyarakat kita bukan hanya disebabkan mahalnya harga buku, atau malasnya generasi muda kita untuk membaca. Salah satu faktor yang mungkin terlihat sepele, tapi punya efek lebih adalah mungkin karena kita sendiri yang enggan untuk berbagi buku bacaan.

Saya memang belum mengetahui secara langsung, tapi membaca artikel-artikel luar negeri tentang bagaimana para pecinta buku disana dengan sukarela melepas buku koleksi mereka membuat saya iri. Mengapa kita tidak bisa seperti itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun