Memiliki perpustakaan pribadi dengan banyak koleksi buku adalah impian dari setiap book lovers. Tak terkecuali saya sendiri. Bayangan saya akan perpustakaan pribadi itu sebuah ruangan yang nyaman, dengan kursi sofa yang empuk serta berderet rak buku yang isinya buku semua.
Malahan, waktu SMP-SMA dulu saya punya keinginan yang sederhana; Nyambi kerja di sebuah persewaan buku, dimana saya bisa baca buku sepuasnya sembari menunggu penyewa datang.
Hobi membaca, kecintaan pada buku serta obsesi memiliki perpustakaan pribadi membuat saya mulai mengumpulkan buku. Sejak jaman SMA hingga sekarang, semua buku yang pernah saya beli masih terpelihara dengan baik.
Ragamnya pun bermacam-macam. Ada komik Monika, Detektiv Conan, Donal Bebek, hingga buku komik yang lebar-lebar semacam Smurf, Asterix atau Agen Polisi 212.
Yang paling banyak tentu saja koleksi novel. Mulai serial Harry Potter, Percy Jackson, koleksi buku Dan Brown, Tom Clancy, Jeffrey Deaver, John Grisham, Agatha Christie, sampai buku-buku kecil cerita silat dari Kho Ping Hoo.
Saking cintanya pada koleksi buku tersebut, sewaktu ditugaskan di Bali selama hampir 1o tahun, sebagian besar koleksi itu saya bawa. Bukan karena takut hilang tak ada yang menjaga, tetapi karena saya sering membaca ulang koleksi-koleksi tersebut, meskipun jalan cerita atau sebagian besar isinya sudah hafal di luar kepala.
Apakah ratusan koleksi buku itu sudah membuat saya puas? Ternyata tidak. Saya benar-benar tidak puas. Selain rasa lapar ingin memiliki buku yang lain, ada satu ketidakpuasan yang pada dua tahun ini menyadarkan diri saya. Bahwa mengoleksi buku itu bukan sebuah bentuk kecintaan pada buku itu sendiri.
"If you love your books, let them go."
Kutipan ini saya baca di halaman situs BookCrossing. Sebuah kutipan dari The New York Times yang mengapresiasi program "pelepasan buku" supaya bisa dibaca orang lain. Bookcrossing sendiri adalah salah satu "keajaiban" perpustakaan masa kini.
Jika kamu mencintai bukumu, biarkan mereka pergi.