"Jokowi berjanji akan menaikkan gaji perangkat desa
"Luhut berjanji akan memangkas TKA di Morowali.
Seperti itu judul berbagai berita yang mengabarkan janji-janji pemerintah. Terlebih di masa-masa kampanye dan menjelang pemilihan presiden 17 April mendatang. Sebagai petahana, banyak janji yang diumbar.
Secara logika, narasi janji dan akan yang dilontarkan petahana itu keliru. Petahana artinya dia masih berkuasa. Mengapa tidak langsung direalisasikan ketimbang wacana akan dalam bentuk janji-janji?
Bukankah kubu petahana sering berkampanye "Lebih baik yang sudah terbukti daripada yang masih berjanji". Bukankah mereka juga pernah berkata, "Buat apa kata-kata 'akan, akan, dan akan' jika sudah ada yang melakukan?" Lah kok di masa kampanye mereka juga berkata "Akan" dan "Janji".
Jika wacana janji dan akan itu dilontarkan oleh calon lain yang belum pernah menjabat, itu wajar dan memang sudah semestinya menjadi narasi kampanye mereka. Banyak yang keliru dalam memahami narasi seperti ini. Ada yang mengkritik program-program dari kubu lawan masih berupa wacana dan hanya "Akan".
Lah terus maunya bagaimana? Orang belum menjabat kok sudah ditagih realisasinya. Kalau ingin tahu bagaimana program kerja sebagaimana yang dia ucapkan, ya beri kesempatan untuk memerintah. Barulah nanti bila mereka berkampanye lagi, kritik tentang program yang berupa wacana dan hanya akan itu bisa dilontarkan.
Lain halnya dengan kubu petahana. Mereka saat ini masih menjabat. Punya kekuasaan dalam genggaman tangan. Bisa bertindak dan memerintahkan. Karena itu narasi janji dan akan itu suatu hal yang sangat keliru.
(Loh, bukankah setiap kebijakan itu butuh waktu, perencanaan serta koordinasi? Wajar kan apabila mereka juga berkata "akan" dan "berjanji?")
Memang benar bahwa pemerintah dalam hal melakukan sebuah kebijakan butuh waktu dan perencanaan. Namun, narasi 'akan' dan 'janji' itu lebih baik diganti dengan 'segera'. Ini lebih tepat.