Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Ketahuilah Sayang, Menulis Itu Juga Butuh Pengorbanan

1 Januari 2019   15:03 Diperbarui: 1 Januari 2019   15:19 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tahukah kau, mengapa aku menyayangimu lebih dari siapa pun? Karena kau menulis, suaramu abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari."

Rasanya aku tak percaya kau menyanjungku sedemikian rupa. Kupikir tak cuma cinta saja yang membuat orang rela melakukan segalanya. Asal kau tahu, menulis itu juga butuh pengorbanan.

Saat menulis, kukorbankan waktu yang semestinya kusediakan untukmu. Bukankah kau sering mengeluh, ketika menulis aku seolah lupa dengan sekelilingku.

Itu karena aku tak ingin tulisanku hanya sekedar omong kosong belaka. Atau lebih parahnya, aku tak ingin tulisanku membawa kemudharatan bagi pembacanya.

Kamu tahu kan prinsipku dalam menulis. Bagiku, menulis itu bisa menjadi tabungan pahala. Karena dalam agama kita diajarkan, hanya ada tiga hal yang bisa dibawa mati: sedekah, do'a anak yang sholeh, dan ilmu yang bermanfaat.

Aku ingin tulisanku bisa membawa manfaat, entah itu pengetahuan, inspirasi, motivasi, atau sekedar membuat senang orang yang membacanya. Sekecil apapun itu, manfaatnya harus terasa nyata.

Karena itulah sayang, waktu yang berharga itu kugunakan untuk mencari fakta, atau jawaban atas segala keresahan dan rasa ingin tahuku.

Menelusuri ribuan artikel di belantara dunia maya. Mencari remah-remah informasi yang bisa mendukung opini. Mengutip kalimat dari orang-orang terkenal yang relevan untuk kujadikan penghias tulisan.

Tentu saja hal ini juga butuh pengorbanan, selain waktu yang tadi kusebutkan. Ibarat orang yang sedang bepergian, dia butuh bekal untuk menjelajahi tempat-tempat baru yang belum dikenal. Bagi penulis lepas, bekal utama saat dia pergi menjelajahi dunia tanpa batas ini adalah kuota internet.

Kamu tahu kan sayang, kalau rumah kita yang mungil ini belum dialiri jaringan kabel fiber optik. Yang bisa membuat kita berlangganan internet unlimited. Untuk sementara, aku hanya bisa menggantungkan harapan pada pasokan kuota internet dari si merah, biru, kuning, atau kadang-kadang ungu.

Jadi, kuharap kamu maklum jika aku tidak bisa terlalu sering mentraktirmu makan malam, atau uang belanja yang semestinya menjadi hakmu tiba-tiba berkurang. Bukan karena aku pelit, tapi kamu tahu sendiri harga paket data internet sekarang tambah mahal. Kalaupun ada diskon murah, itu cuma berlaku satu hari satu malam.

Saat menulis, aku juga mengorbankan separuh jiwaku di dalam setiap huruf yang kurangkai membentuk kata. Aku tak ingin tulisanku hanya berupa rangkaian kata yang tak bermakna.

Aku ingin tulisanku terlihat mempunyai nyawa, memudahkan orang untuk membacanya. Karena sebuah tulisan hakekatnya adalah cermin kepribadian. Kata seorang bijak, "Be more concerned with your character than your reputation." Aku lebih memilih menjaga karakter diriku dalam setiap tulisan daripada mendapatkan reputasi atau penilaian.

Di luar itu semua, kamu tahu apa pengorbanan terbesar bagi seorang yang menulis? Korban perasaan!

Ketika tulisanku mendapat kritik yang tajam, atau mendapat penilaian dan komentar buruk dari pembacanya. Aku tahu, setiap kritik, nilai dan komentar tentunya memiliki alasan masing-masing. Dan semestinya aku tidak melibatkan emosi dalam menanggapinya. Harus berusaha obyektif dalam melihat kritik dan komentar itu sebagai suatu interaksi dan keterlibatan antara penulis dan pembaca.

Tapi, adalah manusiawi pula bila aku tidak selalu bisa melakukan hal seperti itu. Karenanya, seringkali ada rasa marah, kecewa, jengkel dan bermacam perasaan lainnya.

Apalagi bagi penulis yang terobsesi menerbitkan buku di penerbit mayor. Karya tulis yang dibuatnya dengan susah payah, penuh pengorbanan itu ditolak mentah-mentah oleh editornya. Gimana gak kesal? Aku yakin perasaan itu pasti ada, meski kemudian ditutupi dengan mencoba berbesar hati dan berpikir barangkali ada yang kurang dari karya tulisnya.

Sepertinya sudah terlalu banyak kata-kata yang kukorbankan dalam tulisan kali ini. Semoga kamu jadi lebih mengerti, bahwa menulis itu memang tidak mudah. Dan bila kamu ingin mengikuti jejakku menjadi penulis, setidaknya kamu  tahu bahwa menulis (yang baik) itu butuh pengorbanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun