Sandi sadar, para Emak lah yang mengerti langsung isu ekonomi rumah tangga yang menjadi bahan kampanyenya. Bukan para bapak, apalagi anak-anak muda yang tahunya hanya tempat-tempat instagrammable saja.
Kubu petahana pun tak mau kalah. Merasa didahului Sandi, Jokowi kemudian berusaha mempopulerkan istilah Ibu Bangsa. Sayangnya, para Ibu sudah terlanjur lebih familiar dengan istilah Emak-emak. Lebih merakyat dan lebih lekat di hati.
Kubu petahana seolah terbawa arus strategi kampanye Sandi. Tempe setipis ATM dilawan dengan memborong tempe setebal kardus. Isu seratus ribu bisa dapat apa dilawan dengan video-video Ibu Bangsa yang berbelanja langsung. Sayangnya, malah menjadi blunder dan ditertawakan netizen karena tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Bukannya ini bentuk eksploitasi politik?
Belum ada survei yang menjawab pertanyaan tersebut. Apakah para Emak dan Ibu Bangsa itu merasa hanya dijadikan bahan jualan saja?
Tapi menilik apa yang dilakukan Ibu Habibah, Emak-emak tidak merasa dieksploitasi. Mereka seolah menyadari peran penting kaum Ibu dalam percaturan politik nasional. Mereka tidak ingin lagi disetir dalam menentukan pilihan politiknya oleh kaum bapak.
Memang secara faktual kiprah Ibu-ibu di parlemen maupun di pemerintahan masih belum sebanding dan dirasakan belum mewakili. Kita bisa melihatnya dari komposisi anggota DPR maupun pejabat di Kementerian dan lembaga lainnya.
Strategi kampanye politik Emak-emak yang dilakukan dua kandidat pasangan capres-cawapres setidaknya membuka mata kita, bahwa suara kaum ibu itu semakin lama semakin berharga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H