Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Surat Terbuka untuk Jurnalis dan Pers Indonesia

9 Desember 2018   23:14 Diperbarui: 10 Desember 2018   08:22 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Journalism allows its readers to witness history; fiction gives its readers an opportunity to live it."

~ John Hersey ~

Untuk para jurnalis dan Pers Indonesia.

Minggu-minggu ini, profesi anda tengah mendapat sorotan publik. Ini tak lepas dari kontestasi politik yang saat ini terjadi di Indonesia. Puncaknya adalah ketika beberapa media mainstream dianggap bersikap tidak adil, dengan memberi porsi kecil pemberitaan pada sebuah peristiwa besar.

Ketika publik mengkritik ketidakadilan tersebut, anda merasa tersinggung. Apalagi ketika tokoh politik yang ikut dalam pusaran kontestasi, Prabowo Subianto "marah", anda langsung menganggapnya sebagai bentuk pelecehan terhadap profesi anda yang terhormat ini. 

Nada tinggi dari Prabowo anda anggap sebagai sikap yang tidak etis dan cenderung otoriter. Protes Prabowo yang menyebut media mainstream enggan meliput aksi Reuni Akbar 212 di Monas anda anggap sebagai bentuk intervensi.

Kata "marah" diatas sengaja saya beri tanda kutip, karena persepsi terhadap apa yang dilakukan Prabowo Subianto saat itu bisa berbeda, tergantung dari sudut mana kita melihatnya dan di posisi mana kita berdiri. Ketika tokoh politik lain, Basuki Tjahaya Purnama "marah", anda menyebut itu tindakan tegas. Ketika Presiden Jokowi "marah", anda menyebutnya itu sikap reaktif. 

Dari sini sudah bisa kita lihat, ada bias yang semakin lama semakin membesar. Tak salah bila banyak yang bilang bahwa sebagian besar dari anda, jurnalis dan media mainstream, sudah terjebak pada posisi hiper-partisan.

Kita semua tahu, jurnalisme telah lama dianggap sebagai kekuatan penting dalam pemerintahan. Sangat penting bagi berfungsinya demokrasi yang telah digambarkan sebagai komponen integral dari demokrasi itu sendiri.

Pada tahun 1841, Thomas Carlyle menulis, "Burke mengatakan ada Tiga Pilar di Parlemen; tetapi, di Galeri Reporter di sana, duduk Pilar Keempat yang lebih penting daripada mereka semua ".

Empat tahun sebelumnya, Carlyle telah menggunakan frasa itu dalam Revolusi Prancisnya: "A Fourth Estate, of Able Editors, springs up, increases and multiplies; irrepressible, incalculable." Carlyle melihat pers sebagai alat untuk kelahiran dan pertumbuhan demokrasi, menyebarkan fakta dan opini dan memicu revolusi melawan tirani.

Dalam demokrasi perwakilan, peran pers ada dua: keduanya menginformasikan warga dan membentuk umpan balik antara pemerintah dan pemilih. Pers membuat tindakan pemerintah diketahui publik, dan pemilih yang tidak menyetujui tren kebijakan saat ini dapat mengambil tindakan korektif pada pemilihan berikutnya. 

Tanpa pers, putaran umpan balik rusak dan pemerintah tidak lagi bertanggung jawab kepada rakyat. Karena itu pers adalah yang paling penting dalam demokrasi perwakilan.

Protes Prabowo yang menyayangkan enggannya media mainstream meliput dan memberi porsi khusus pada Reuni Akbar 212 yang dihadiri banyak orang adalah hal yang wajar. Ini adalah bagian dari demokrasi itu sendiri. Sama halnya ketika Erick Thohir dan beberapa redaktur media mainstream mengatakan, diliput atau tidak, diberi porsi besar atau kecil, masing-masing media memiliki kebijakan redaksional sendiri-sendiri.

Sebagaimana pula yang anda teriakkan ketika memprotes tindakan "marah-marah" dari Prabowo Subianto, dengan mengatakan "Kami punya hak untuk menaikkan dan tidak menaikkan berita. Kami punya penilaian dan kami punya kebebasan." Ini adalah bagian dari demokrasi pula.

Kalian memang memiliki hak untuk meliput atau tidak sebuah peristiwa dan menjadikannya sebagai berita. Akan tetapi, setidaknya kalian bisa mengerti bahwa jurnalisme dan publik adalah satu kesatuan yang keduanya saling membutuhkan. Publik adalah sumber penghasilan utama dari media. Karena itu, secara umum tujuan jurnalisme adalah bertindak untuk kepentingan publik.

Ketika media asing meliput dan menaikkannya menjadi berita karena menganggapnya sebagai bentuk kepentingan publik, mengapa tindakan yang serupa tidak dilakukan media mainstream Indonesia? Padahal, pers kita dan pers di luar sana, di belahan dunia manapun itu sama.

Seek Truth and Report it! Carilah kebenaran dan laporkan! Ini adalah prinsip dasar dari kode etik jurnalistik. Apakah aksi Reuni Akbar 212 itu bukan sebuah fakta dan kebenaran?

Dalam teori identifikasi berita oleh Harcup and O'Neil (2001), peristiwa ini termasuk dalam sepuluh elemen yang dicari jurnalis karena mengandung nilai Relevansi: yakni cerita tentang isu, kelompok, dan negara yang dianggap relevan dengan audiens. Lantas mengapa harus ada pengabaian, atau yang kalian lebih suka menyebutnya dengan "pilihan"?

Cobalah tanya pada nurani anda masing-masing, apakah peristiwa semacam itu patut untuk diabaikan begitu saja? Sikap gotong royong antar peserta, kebersihan Monas yang dijaga, aksi yang berlangsung damai meski diikuti ribuan (menurut kalkulasi anda sendiri), apakah ini semua tidak menarik perhatian dan layak untuk dijadikan berita besar?

Setahu saya, orang awam yang hidup di luar dunia pers, para jurnalis berdiri diatas pondasi kejujuran dan independensi. Apakah anda berani jujur dan mengatakan peristiwa itu tidak menarik sama sekali dan cukup diberi porsi kecil saja? Apakah anda berani jujur dan mengatakan tidak ada tekanan apapun dari pemilik media terkait pengabaian dan pilihan redaksional tersebut?

Kami mengerti bahwa profesi jurnalis saat ini kerap dihadapkan pada dilema. Di satu sisi anda berteriak kemerdekaan dan kebebasan pers. Tapi di sisi lain, anda sadar bahwa anda juga harus menjaga periuk nasi di dapur harus tetap mengebul.

Karena itu, protes dan nada tinggi yang dilakukan Prabowo dan massa Reuni Akbar 212 seharusnya bisa anda mengerti pula. Seharusnya anda juga bisa memahami suara hati mereka yang menuntut keadilan dan hak mereka pada profesi anda sebagai pengabar sebuah peristiwa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun