Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Narasi Sumbang Jurnalis yang Meruntuhkan Kredibilitas Pers Indonesia

6 Desember 2018   16:12 Diperbarui: 6 Desember 2018   16:29 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika diminta bosnya untuk mewawancarai milyuner Carlton Drake, Eddie Brock menolak untuk didikte. Brock, jurnalis investigasi yang dikenal karena independensinya memilih untuk mengkonfrontasi Drake perihal percobaan terhadap manusia yang dirahasiakan Life Foundation. Alih-alih mewawancarai Drake tentang misi luar angkasanya yang ambisius.

Buntut dari wawancara di luar skenario itu, Eddie Brock dipecat. Tak ketinggalan pacarnya, Annie Weying  juga ikut dipecat karena sumber informasi yang didapat Brock berasal dari hasil curi baca email pacarnya tersebut.

Cuplikan plot cerita film Venom (2018) ini memberi kita sedikit gambaran bagaimana seorang jurnalis itu bersikap dan beretika: tak bisa didikte, independensi, sikap kritis, fungsi kontrol, menjaga jarak dari kepentingan bisnis dan kekuasaan, membela keadilan, serta menyuarakan kebenaran. Selain film Venom yang hanya memberi porsi sedikit dari gambaran seorang jurnalis, ada banyak film bertema jurnalis lain yang memiliki pesan moral yang sama.

Akhir-akhir ini pers Indonesia mendapat sorotan tajam. Netralitas dan independensi jurnalisme mereka dipertanyakan. Hal ini tak lepas dari keberpihakan pers Indonesia yang secara kasat mata tampak begitu nyata. Pemerhati politik dan media yang juga mantan wartawan, Hersubeno Arief menyebut Pers Indonesia tengah melakukan aksi bunuh diri. Sementara wartawan senior lain, Ilham Bintang yang juga penasehat PWI mengatakan, " Rakyat telah mencabut media mainstream dari sanubarinya."

 Dalam buku Why Americans Hate the Media and How It Matters, ilmuwan politik dari Georgetown University, Jonathan Ladd memberikan gambaran ringkas bagaimana kemerdekaan pers itu hilang. Diceritakan oleh Ladd, surat kabar Amerika pertama berjudul Publick Occurrences, Both Forreign dan Domestick. Mereka menerbitkan satu edisi, pada 1690, yang, oleh Ladd dituliskan, "melaporkan bahwa Raja Prancis mengambil 'kebebasan tak bermoral ' dengan istri pangerannya." Publick Occurrences kemudian dilarang, dan penduduk Amerika akhirnya  tidak mendapatkan surat kabar lain selama 14 tahun.

Untuk menghindari penyensoran, surat kabar kemudian mengadopsi strategi yang berbeda. Mereka memutuskan bahwa objektivitas berita itu tidak penting atau bahkan tidak perlu diinginkan. Ladd menulis, "Daripada berusaha merdeka, [penerbit] mengikutsertakan diri mereka sendiri kepada otoritas pemerintah" dan "mengikuti beberapa kebijakan pemerintah tentang konten."

Apa yang disebutkan Hersubeno Arief dan digambarkan Jonathan Ladd memang benar adanya. Kemerdekaan, netralitas dan independensi pers Indonesia sudah hilang. Narasi-narasi sumbang yang hiper-partisan kini menghiasi judul dan isi berita. Pers Indonesia seolah terbelenggu pada kekuasaan semata. Bukan karena mereka dibungkam, tapi - meminjam istilah mantan Wasekjen PWI M.Nigara -- banyak jurnalis dan media Indonesia sudah menjual diri..

Kekecewaan beberapa wartawan senior, seperti Hersubeno Arief, Ilham Bintang dan M.Nigara terhadap netralitas jurnalis masa kini dijawab oleh pemilik Harian Umum Republika Erick Thohir dalam opini pribadinya di laman Republika. Dalam opini pendek berjudul "Saya, Republika dan 212", Erick Thohir yang juga ketua Timses pasangan capres Jokowi-Ma'ruf Amin mengatakan setiap media punya kebijakan redaksinya masing-masing yang harus dihormati.

"Pers Indonesia saat ini bukan lagi pers masa lalu. Institusi pers saat ini memiliki tantangan, pilihan, inovasi, dan dinamika yang sangat berwarna. Masing-masing punya argumentasi untuk memilih dan tidak memilih isu untuk disajikan pada masyarakat," tambah Erick Thohir.

Pembelaan diri Erick Thohir itu terkait dengan sorotan terhadap beberapa media mainstream (termasuk Republika) yang --seperti dikatakan Erick sendiri -- tidak memilih isu Reuni Akbar 212 untuk disajikan pada masyarakat. Memang benar setiap pers memiliki kebijakan redaksi masing-masing. Tapi, bukankah mereka juga terikat pada etika dan moral atas peran mereka sebagai alat kontrol kekuasaan? Mari kita kesampingkan dulu isu Reuni Akbar 212.

Sekarang kita tengok sebuah judul dan isi berita dari media detik. Pada laman detik finance, ada sebuah berita dengan judul "200.000 Orang Miskin di Jabar dapat Sambungan Listrik Gratis dari Jokowi." Sebuah judul yang  - bila boleh dikatakan agak kasar - terkesan melacurkan diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun