Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tragedi Pekerja Trans Papua Tak Bisa Lagi Dianggap Tindak Kriminal Biasa

5 Desember 2018   16:50 Diperbarui: 5 Desember 2018   17:10 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Tragedi pembunuhan 31 pekerja PT. Isyaka Karya yang tengah mengerjakan proyek jalan Trans Papua di Kabupaten Nduga, Papua mengguncang publik tanah air. Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB/KKB) pimpinan Egianus (Yanus) Kogoya diduga sebagai pelaku pembantaian tak berperikemanusiaan tersebut.

Peristiwa ini tak pelak menjadi salah satu catatan paling hitam dalam sejarah pemerintahan Presiden Jokowi. Masyarakat Indonesia yang merasa geram dan berduka dengan tragedi tersebut menuntut pemerintah untuk segera bertindak. Sebagian besar masyarakat juga menilai tragedi ini bukan lagi kejahatan kriminal biasa. Tapi sudah menjurus pada aksi terorisme dalam upaya pemberontakan terhadap keutuhan NKRI.

Mengutip dari laman Kompas, Kapolres Jayawijaya AKBP Yan Pieter Reba mengatakan motif yang menyulut api kemarahan Kelompok Kriminal Bersenjata adalah karena aksi salah satu pekerja, mengambil gambar saat kelompok itu melaksanakan upacara Hari Papua Merdeka. Marah karena mengetahui kegiatannya direkam, kelompok itu lantas mengejar dan menghabisi nyawa puluhan pekerja, yang sejauh ini totalnya mencapai 31 orang, dan satu orang masih dalam pencarian setelah berhasil melarikan diri.

Tak hanya itu, KKB juga menyerang pos TNI Yonif 756/Yalet yang berada di distrik Mbua, Kabupaten Nduga. Akibat aksi serangan tersebut, satu prajurit TNI gugur tertembak dan satu orang lainnya terluka.

Pemerintah memang tidak tinggal diam. Segera setelah kabar peristiwa pembantaian ini menyeruak ke publik, Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu untuk mengambil langkah taktis. Atas perintah tersebut, Ryamizard mengatakan tak ada negosiasi bagi KKB atas pembantaian yang mereka lakukan pada pekerja PT. Isyaka Karya. Untuk itu, harus TNI yang turun tangan memberantas keberadaan KKB di Papua.

"Bagi saya tidak ada negosiasi. Menyerah atau diselesaikan. Itu saja," ujar Ryamizard di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/12/2018).
Ryamizard juga menambahkan, kelompok bersenjata tersebut juga memiliki agenda politik, yakni memisahkan Papua dari Indonesia. Ia menegaskan, TNI memiliki tugas pokok untuk menjaga kedaulatan, keutuhan dan keselamatan bangsa Indonesia.


"Mereka itu bukan kelompok kriminal tapi pemberontak. Kenapa saya bilang pemberontak? Ya kan mau memisahkan diri, (memisahkan) Papua dari Indonesia. Itu kan memberontak bukan kriminal lagi," tuturnya.

Apa yang diungkapkan Menteri Pertahanan tersebut memang tepat. Peristiwa terbunuhnya para pekerja PT. Isyaka Karya tidak dapat lagi dianggap sebagai tindakan kriminal biasa. Selain digolongkan sebagai aksi pemberontakan sebagaimana yang dikatakan Ryamizard, pembunuhan massal itu juga sudah memenuhi unsur tindak pidana terorisme.

Pasal 1 ayat (2) UU no, 5 tahun 2018 tentang Tindak Pidaya Terorisme menyebutkan definisi Terorisme adalah: perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan.

Jika merujuk pada definisi Terorisme yang terdapat dalam UU diatas, ada tiga alasan mengapa tindakan biadab yang dilakukan KKB pimpinan Egianus Kogoya digolongkan dalam  tindak pidana terorisme.

Pertama, peristiwa pembunuhan terhadap 31 orang warga sipil dan 1 orang militer itu merupakan perbuatan yang menggunakan kekerasan (senjata) yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, bukan hanya di Papua tapi menebar teror dan rasa takut diseluruh Indonesia. Terlebih lagi, pembunuhan itu dilakukan secara sadis, terencana dan berjenjang. Delapan orang sipil yang mulanya mampu melarikan diri dan bersembunyi di rumah salah satu Caleg DPRD Papua diambil paksa dan kemudian dibunuh dengan sadis pula.

Kedua, para korban adalah penduduk sipil, pekerja PT. Istaka Karya yang sedang mengerjakan proyek fasilitas publik berupa pembangunan jalan Trans Papua.

Ketiga, aksi pembunuhan sadis tersebut jelas bermotif ideologi, politik atau setidaknya gangguan keamanan. Meskipun motif awalnya adalah karena marah ada pekerja yang mengambil foto kegiatan mereka tanpa ijin. Adapun kegiatan yang mereka lakukan adalah perayaan Hari Papua Merdeka.

Karena itu, sudah seharusnya pemerintah tak lagi menganggap kelompok yang melakukan aksi pembunuhan massal sadis ini sebagai kelompok kriminal bersenjata. Mereka adalah pemberontak sekaligus teroris.

Selama ini, ada kesan bahwa pemerintah terlalu lembek dalam menindak aksi-aksi kriminal yang dilakukan oleh KKB. Bahkan pengangkatan Lenis Kogoya, salah satu kepala suku terbesar di Papua, sebagai Staf Khusus Presiden Untuk Papua juga belum bisa memberi dampak signifikan untuk menumpas, atau setidaknya menekan keberadaan KKB yang sering melakukan gangguan keamanan bagi penduduk setempat.

Wajar apabila kemudian Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab mempertanyakan kinerja dan tugas Stafsus Presiden Untuk Papua. "Misalnya kita bilang komunikasi yang lebih baik dengan semua pihak di Papua makanya ada staf khusus soal Papua di Presiden kan tapi saya tidak tahu staf khusus itu apa yang dibikin?" kata Amiruddin di kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (5/12), dikutip dari Merdeka.com.

Penanganan terhadap teror yang dilakukan KKB pimpinan Egianus Kogoya memang tidak bisa dilakukan secara biasa-biasa saja. Mengingat setiap gejolak politik dan keamanan yang terjadi di Papua biasanya disorot secara berlebihan oleh media luar dan negara-negara lain. Isu HAM juga kerap dijadikan alasan oleh pihak-pihak yang menginginkan lepasnya Papua dari NKRI.

Pemerintah harus secepatnya bertindak tegas, dengan menurunkan pasukan khusus yang mengenal medan di pedalaman Papua, supaya gerakan bisa ditekan dan ditumpas hingga ke akarnya. Selain itu, pemerintah juga harus mengintensifkan komunikasi dengan penduduk Papua yang tinggal di pedalaman, untuk tidak mudah terbujuk dan merasa simpati dengan gerakan KKB yang selama ini kerap meneror mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun