"Ya memang benar omongan kamu itu Jok. Tapi pidato Prastowo juga tidak salah kok," kata Agus menimpali kekesalan temannya.
"Gak salah gimana?"
"Gak salah kan kalau dia merasa sedih pemuda-pemuda seperti kita hanya bisa jadi ojek online? Kita memang harus bersyukur masih bisa bekerja. Tapi apa memang pekerjaan ini yang kita inginkan? Apa kamu gak kepingin bisa memiliki pekerjaan yang lebih baik daripada menjadi ojek online seperti sekarang?"
Joko hanya terdiam. Tak ditanggapinya omongan panjang lebar dari Agus tersebut.
"Lagian Jok," kata Agus melanjutkan, "Buat apa kita sekolah tinggi-tinggi jika ujung-ujungnya hanya jadi ojek online? Buat apa gelar sarjana yang kita miliki jika tidak pernah kita manfaatkan ilmu yang kita dapatkan dulu? Kalau kamu merasa sudah puas dengan menjadi ojek online, silahkan saja kamu merasa dilecehkan oleh pidato Prastowo itu. Â Aku sih gak merasa dilecehkan. Lha wong realitanya memang seperti ini kok."
"Ya... tapi kan gak perlu menyinggung profesi orang lain seperti itu Gus," kata Joko pelan. Kelihatannya hawa panas di otaknya sudah menguap.
"Dia gak menyinggung Jok. Dia hanya bicara realita. Bahwa ada banyak pemuda, lulusan sarjana seperti kita ini yang menjadi ojek online, itu kan kenyataan. Bahwa dia ingin perjalanan karir pemuda-pemuda tidak berhenti di ojek online saja, bisa berwiraswasta, bisa menciptakan lapangan kerja bagi orang lain, itu juga menjadi harapan kita bukan?"
"Ah, paling itu cuma janji dan retorika dia saja Gus," kata Joko.
"Bisa jadi. Toh yang lain juga banyak yang menebar janji dan retorika. Sudahlah, gak usah berdebat panjang lebar. Tuh ada pesanan yang masuk. Buruan kamu terima, entar keburu disambar orang lain," kata Agus mengingatkan.
Joko lalu memeriksa gawainya. Dilihatnya pesanan yang baru masuk tadi, lalu ditekannya tombol terima pesanan.
"Lumayan jauh Gus tujuannya. Ya udah, aku cabut duluan. Sekalian bayarin dulu kopi sama gorengan tiga," kata Joko lalu melangkah pergi menuju tempat sepeda motornya diparkir.