Di salah satu ruang perawatan VIP Utama di sebuah rumah sakit swasta, bergerombol orang-orang hendak masuk. Tidak terlihat jelas nama pasien waktu aku melewati kerumunan orang banyak itu. Mungkin, pasien yang sedang dirawat itu orang penting. Sehingga kerabat, handai taulan, klien, atau siapa pun yang merasa kenal dan dekat dengan pasien itu memerlukan diri untuk datang.
Seorang petugas keamanan lantas datang, menertibkan orang banyak yang hendak menjenguk orang penting yang sakit tersebut. Diaturlah para penjenguk itu, berbaris satu banjar memanjang. Persis seperti orang hendak antri sembako. Bedanya, jika orang yang antri sembako berbaris dengan tangan hampa, ditangan orang-orang yang sedang antri menjenguk itu, tampak beraneka macam buah tangan bagi si pasien.
Aku melanjutkan langkahku menyusuri lorong rumah sakit. Berbelok ke kiri, melewati taman bunga yang gelap. Hanya terdengar gemerisik angin dan dedaunan. Ruangan yang kutuju terletak jauh di belakang. Berada dekat dengan gudang dan kamar mayat.
Cuma ada dua orang perawat yang sedang berjaga. Aku mengangguk dan memberi senyum singkat saat melewati mereka. Kubuka pintu ruangan, dan bau karbol langsung menyergap hidungku. Sepi, cuma ada satu-dua suara dari keluarga pasien yang ikut berjaga, menunggu keluarganya yang sedang dirawat. Beberapa pasang kaki terlihat menjulur melewati batas tirai yang menutupi bangsal.
Kulihat istriku tengah tertidur di bangsal nomor 12, yang berada di pojok ruangan. Ada 12 bangsal di ruang rawat inap kelas 3 ini yang diletakkan berhadap-hadapan. Tiap bangsal dilengkapi satu tempat tidur, dan satu meja kecil dengan laci untuk menyimpan barang-barang dari keluarga pasien. Masing-masing bangsal dipisahkan oleh tirai kain berwarna putih. Panjangnya hanya bisa menutupi sebatas betis kaki orang dewasa.
Kusentuh pelan lengan istriku. Perlahan matanya membuka. Wajahnya masih terlihat pucat. Sudah tiga hari ia berbaring disini. Kata dokter ia terkena gejala demam berdarah.
"Bagaimana rasanya?" tanyaku dengan suara pelan.
"Masih lemas. Tadi sudah diperiksa sama dokter. Trombositnya masih turun terus," jawab istriku.
"Kubawakan kolak kacang hijau seperti yang kamu pesan tadi. Yang satu bungkus ini buat siapa?" kataku sambil membongkar kantong plastik berisi dua bungkus kolak kacang hijau.
"Tolong kasihkan ke Ibu yang disebelah. Kasihan mas, sampai sekarang belum ada yang menengoknya," kata istriku.
Di hari pertama istriku menempati ruang rawat inap kelas 3 ini, kami mendapati seorang perempuan tua di bangsal sebelah, tepat di samping bangsal istriku.