Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jika Bukan Pengganti Buku Nikah, untuk Apa Kartu Nikah Dicetak?

13 November 2018   12:11 Diperbarui: 14 November 2018   08:54 1701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Menikahi orang yang dicintai itu mudah. Mencintai orang yang sudah dinikahi itu butuh perjuangan".

Beberapa waktu yang lalu saya menemani keluarga dalam proses mediasi perceraian sepupu jauh. Saat proses mediasi tersebut, Pak Ustaz, orang yang kami tunjuk untuk menjadi penasehat mediasi, meminta kedua pihak yang bercerai untuk membawa buku nikah masing-masing.

Setelah kedua keluarga berkumpul, Pak Ustaz meminta kedua suami-istri untuk membaca buku nikah, halaman demi halaman. Setelah selesai, Pak Ustaz kemudian bertanya,

"Apa yang ada dalam buku nikah tersebut?"

"Salinan akta nikah Pak Ustaz."

"Apa lagi?"

"Hak dan kewajiban suami-istri."

"Terus?"

"Sighat taklik, nasehat pernikahan, dan doa setelah akad nikah."

"Berapa kali kalian berdua membaca buku nikah tersebut?" tanya Pak Ustadz terakhir kalinya, sambil matanya memandang berkeliling kepada semua keluarga yang hadir.

Pertanyaan itu seolah tidak hanya ditujukan pada pasangan yang sedang bermasalah, melainkan juga kepada kami semua yang turut hadir.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Berapa kali kita membaca buku nikah?

Sekali, dua kali, atau jangan-jangan malah belum pernah? Buku nikah seolah hanya semacam sertifikat legalitas pernikahan saja. Isinya apa saja, bisa jadi sebagian besar masyarakat, terutama pasangan muslim, tidak banyak yang tahu.

Begitu selesai akad nikah, Buku Nikah disimpan rapi. Dibuka hanya ketika hendak difotokopi, saat kita sedang mengurus administrasi kependudukan, atau saat sedang mencari kreditan.

Padahal, dengan membaca isi buku nikah, kita akan mengerti bahwa buku ini lebih dari sekadar sertifikat legalitas pernikahan. Di dalamnya, ada pengingat, nasihat, dan do'a kebajikan dalam upaya membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rohmah.

Melihat isi buku nikah yang harus diakui sangat bermanfaat bagi pasangan suami-istri tersebut, wajar jika kemudian muncul suara penolakan terkait rencana Kementerian Agama mencetak kartu nikah sebagai pengganti buku nikah. Ada kekhawatiran jika nanti, diluar salinan akta nikah, halaman yang berisi nasihat pernikahan, hak dan kewajiban suami, sighat taklik, serta do'a kebaikan akan hilang.

Terkait kabar yang beredar tersebut, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan keberadaan kartu nikah yang baru diluncurkan tidak akan menghapus buku nikah.

"Bukan pengganti buku nikah," kata Lukman di Jakarta, Senin (12/11).

Menag menyatakan, keberadaan kartu nikah adalah inovasi logis untuk pencatatan kependudukan sipil. Kartu nikah ini terintegrasi dengan Sistem Informasi Manajemen Nikah berbasis website (Simkah).

"Simkah ini pencatatannya terintegrasi dengan nama pemilik Simkah. Ini nanti dipadukan data dukcapil. Setiap data warga kita terintegrasi dengan baik," kata dia, dikutip dari Antara.

Kartu nikah tersebut, kata dia, akan memudahkan pengenalan identitas riwayat pernikahan dengan segera.

"Ada foto dan barcode di kartu. Di AppStore bisa kita pindai data warga. Siapa, NIK, kapan nikah dan sebagainya," kata dia.

Pernyataan klarifikasi dari Menag ini malah menimbulkan banyak pertanyaan baru. Jika bukan pengganti buku nikah, untuk apa kartu nikah dicetak?

Kalau hanya untuk pengenalan identitas riwayat pernikahan, bukankah di eKTP juga sudah tercatat, penduduk itu menikah atau masih lajang?

Apa fungsi barcode dan pemindaian kartu tersebut? Kapan saja pemindaian kartu nikah dilakukan?

Alasan supaya setiap data warga terintegrasi dengan baik juga dinilai kurang logis. Dukcapil semestinya sudah memiliki data yang terintegrasi tersebut. Misalnya saat warga hendak mengurus Kartu Keluarga baru atau pembaruan data terkait perubahan status pernikahan, diwajibkan melampirkan buku nikah. Dari administrasi ini seharusnya sudah ada catatan riwayat pernikahan warga tersebut.

Ada kesan pengadaan kartu nikah ini hanya semacam proyek yang tidak jelas manfaatnya. Jika menginginkan data kependudukan yang terintegrasi dengan baik, itu semua bisa dilakukan dengan memperbaiki dan menempatkan data tersebut dalam satu kartu, eKTP saja. Bukan dengan mencetak banyak kartu baru yang memenuhi dompet warga. Ada kartu nikah, KTP, KIS, BPJS, dan kartu-kartu lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun