Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Jokowi Memang Harus Ikut Bertanggung Jawab Atas Defisit Anggaran BPJS

19 Oktober 2018   10:25 Diperbarui: 19 Oktober 2018   14:38 1984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (ekbis.sindonews.com)

Salah satu penyebab utama (tapi bukan satu-satunya) defisit BPJS adalah terjadinya ketimpangan antara iuran peserta BPJS (baik itu peserta PBI dan non PBI) dengan biaya kesehatan yang dinikmati peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ada jurang yang lumayan besar antara nominal iuran dengan nilai ke-ekonomiannya.

Karena itu, salah satu solusi yang tepat dan cepat untuk menutup defisit ini adalah dengan menaikkan iuran. Masalahnya, yang berhak menaikkan iuran BPJS ini adalah presiden melalui Peraturan Presiden, yang mana hal ini sesuai dengan UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pasal 27 ayat 5.

Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan tidak ada wewenang untuk menentukan besarnya iuran peserta JKN. Kalau Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan tidak lapor Presiden tentang perlunya Presiden menerbitkan Perpres JKN terkait iuran ( untuk mencegah defisit) maka kedua pejabat tersebut sudah melanggar UU SJSN. Jadi Presiden memang harus turun tangan karena perintah undang-undang, bukan persoalan Menkes dan Dirut BPJS Kesehatannya lambat dan kebangetan.

Bukankah Presiden sudah turun tangan dengan memutuskan penambahan anggaran sebesar 4,9 triliun?

Itu memang benar, tapi masih belum cukup. Dana sebesar itu yang diambil dari pajak cukai rokok belum bisa menutupi kekurangan dana BPJS yang menurut hitung-hitungan BPKP mencapai 10,98 triliun rupiah. Jika presiden mengkritik bahwa BPJS selalu merasa kurang, semestinya presiden menambah anggaran sebesar hitungan dari BPKP. Faktanya, dana tambahan yang diberikan tidak sampai separuhnya.

Teguran presiden kepada Menkes dan Dirut BPJS ini seakan menunjukkan pada publik adanya misleading antara informasi atau laporan yang diterima Presiden dengan bagaimana kondisi real dilapangan. Pertama, anggapan dari presiden bahwa urusan defisit BPJS harus bisa diselesaikan di tingkat Dirut dan Menteri.

Padahal UU SJSN mengamanatkan setiap keputusan untuk menaikkan iuran BPJS itu harus berdasarkan Peraturan Presiden. Menkes dan Dirut BPJS tidak memiliki wewenang apapun.

Yang kedua adalah mengenai besarnya dana tambahan yang dikucurkan pemerintah. Presiden seolah menganggap setelah BPJS diguyur dana dari pajak cukai rokok sebesar 4,9 triliun, itu semestinya sudah cukup. Jika BPJS merasa kurang dan minta lagi, presiden berpikir ini sudah kebangetan.

Padahal faktanya memang tidak cukup karena defisit yang dialami BPJS bernilai dua kali lipat dari dana tambahan yang sudah dikucurkan tersebut. Maka, wajar jika kemudian Menkes dan Dirut BPJS mengatakan dana tambahan itu kurang dan meminta (kebijakan) lagi.

Posisi Menkes dan Dirut BPJS memang serba sulit. Di tengah sorotan publik yang kecewa dengan kinerja mereka berdua terkait masalah BPJS ini, mereka malah kena tegur presiden di depan kolega dan rekan-rekan sejawat. Seandainya masih ada rasa malu, lebih baik Menkes dan Dirut BPJS mengundurkan diri. Seharusnya mereka menyerahkan kembali Keppres pengangkatan mereka dan mengatakan kepada presiden supaya mencari pejabat lain yang bisa mencari dana untuk menutup defisit anggaran BPJS.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun