Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Menguak Praktik Murah Paket Wisata Murah Tiongkok-Bali

16 Oktober 2018   22:22 Diperbarui: 17 Oktober 2018   11:19 2248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai destinasi wisata yang namanya sudah terkenal di seantero dunia, berlibur di Bali tidaklah murah. Hotel-hotel disana tarifnya lebih mahal dari hotel-hotel di daerah lain di Indonesia, pada kelas yang sama, apalagi saat musim liburan tiba. 

Beberapa kota/kabupaten di Bali juga memiliki tingkat biaya hidup yang tinggi. Sehingga wajar jika saat kita liburan disana, paling tidak harus menganggarkan budget minimal 1 juta untuk menginap 1-2 malam saja.

Bilamana ada travel agent yang mengatakan biaya liburan di Bali cuma 600 ribu rupiah dan bisa menginap sampai 5 hari, apakah anda percaya? Pasti tidak. Tapi, itulah fakta yang ada dan sekarang menjadi pembahasan bersama para pemangku pariwisata di Bali.

Jangan salah, biaya liburan sebesar 600 ribu itu berangkat dari Tiongkok lho, bukan berangkat dari daerah di pulau Bali itu sendiri. Bagaimana hitung-hitungannya kok bisa sampai semurah itu?

flyer promosi paket wisata murah dari Tiongkok (baliexpress.jawapos.com)
flyer promosi paket wisata murah dari Tiongkok (baliexpress.jawapos.com)
Ketua Divisi Bali Liang (Pangsa Pasar Mandarin) Asita Bali, Elsye Deliana kepada media mengatakan, praktik jual murah pariwisata Bali kepada turis-turis asal Tiongkok ini sudah berlangsung sejak 2-3 tahun terakhir. 

Dikutip dari Balipost, Bali hanya "dijual" seharga 999 renminbi atau sekitar Rp 2 juta. Harga miring tersebut sudah termasuk tiket pesawat pergi-pulang, makan dan menginap di hotel selama 5 hari 4 malam.

Belakangan, harga itu bahkan sudah turun menjadi 777 renminbi atau sekitar Rp 1,5 juta. Lalu turun lagi menjadi 499 renminbi atau sekitar Rp 1 juta dan yang teranyar 299 renminbi atau sekitar Rp 600 ribu. 

"Coba dipikir, dengan Rp 600 ribu bisa dapat tiket ke Bali dan balik lagi ke Tiongkok. Dapat makan dan hotel selama 5 hari 4 malam. Jadi kualitasnya seperti apa," keluh perempuan yang akrab disapa Meilan ini.

Harga semurah itu bisa didapatkan lantaran travel agent yang bermain menerapkan zero tour free. Artinya, biaya akomodasi disubsidi oleh pihak ketiga. Sebagai ganti dari subsidi tersebut, para wisatawan diarahkan untuk berbelanja di toko-toko tertentu, yang diduga masih satu jaringan dengan pihak yang memberi subsidi tersebut.

Meilan menduga, ada pengusaha dari Tiongkok juga yang membangun usaha Art shop di Bali. Dengan jumlah yang sudah cukup banyak di Bali. Toko -- toko ini yang mensubsidi wisatawan dengan biaya murah itu ke Bali. 

Namun mereka nantinya wajib untuk masuk ke toko -- toko itu. "Ada subsidi dari art shop besar yang punya beberapa di Bali. Subsidi ini yang bisa membuat harga murah" ungkap Meilan.

Situasi ini sama halnya dengan saat kita liburan dengan rombongan, satu bus misalnya ke Bali. Oleh travel agent kita diberi harga nett yang terasa murah. Sebagai gantinya, saat di Bali nanti kita akan diarahkan untuk berbelanja ke toko-toko tertentu. 

Jadinya, wisatawan tidak bisa bebas berbelanja di toko yang diinginkannya sendiri. Dari toko inilah travel agent ini mendapatkan komisi, yang besarnya bervariasi, tergantung yang bisa ditawarkan oleh toko-toko tersebut.

Praktek perang komisi antar artshop atau toko oleh-oleh sudah lama terjadi di Bali. 10 tahun yang lalu, toko oleh-oleh yang terkenal cuma ada 2, kalau tidak Erlangga, ya Joger. Wisatawan juga bisa berbelanja oleh-oleh di pasar-pasar seni semisal Kuta, Guwang atau Sukawati.

Sementara keberadaan artshop terlokalisasi dengan baik. Daerah Mertanadi, misalnya, dikenal sebagai kawasan artshop khusus mebel dan kerajinan kayu. Sementara daerah Celuk dikenal sebagai kawasan toko seni khusus kerajinan perak.

Namun, situasi ini berubah semenjak pemerintah setempat mempermudah ijin mendirikan artshop dan toko oleh-oleh. Toko kerajinan dan oleh-oleh semakin menjamur, tidak lagi terlokalisir.

Hal ini mengakibatkan berlakunya hukum rimba hingga terjadilah perang komisi, bukan perang harga. Siapa yang bisa memberi komisi besar pada travel agent atau travel guide, merekalah yang akan bisa bertahan di tengah ketatnya persaingan antar artshop dan toko oleh-oleh.

Komisi yang diberikan juga lumayan besar. Untuk wisatawan domestik, kisarannya bisa mencapai 12-30% dari total belanja wisawatan di toko tersebut. Sementara untuk wisatawan mancanegara, ada artshop dan toko oleh-oleh yang bahkan berani memberi komisi hingga 60%. Tak heran, keberadaan artshop dan toko oleh-oleh seakan timbul tenggelam. Satu tutup, dua hingga tiga lagi yang baru buka.

Tapi, bukankah itu tidak merugikan pemerintah? Bukankah semakin banyak wisatawan yang masuk maka makin besar pula pendapatan daerah yang didapat?

Iya, kalau wisatawan itu banyak menghabiskan waktu liburannya di tempat-tempat wisata. Masalahnya, "Selama lima hari ini, hanya satu hari mereka menjalani tour ke Objek Wisata di Bali. Dulunya Tanah Lot, namun ketika harga naik hanya diajak ke Uluwatu karena lebih murah," ungkap Meilan lagi.

Tak hanya itu, saat mereka berbelanja di artshop milik pengusaha Tiongkok pun, transaksinya tidak menggunakan mata uang rupiah. Diduga pembayarannya juga dengan wechat ( pola Tiongkok) dengan sistem barcode. "Jadi transaksinya berputar saja, datang ke Bali dari Tiongkok, belanja ke Toko Tiongkok, kemudian sistem pembayaran masih ala Tiongkok," kata Meilan.

Selain itu, barang-barang yang dijual di artshop-artshop milik pengusaha Tiongkok itu bukan murni barang-barang seni atau hasil kerajinan penduduk lokal. Melainkan barang-barang impor (dari Tiongkok) seperti latex hingga kain-kain sutra.

Saya sendiri mendapati hal ini tatkala masih bertugas di Bali, sekitar tahun 2012-2016. Saat itu banyak berdiri artshop-artshop di kawasan Sunset Road hingga By Pass Ngurah Rai. Papan namanya tertulis artshop, tapi barang yang dijual di dalamnya adalah latex atau barang-barang lain yang bukan hasil kerajinan lokal.

Jadinya, nyaris tidak ada pemasukan apapun yang bisa diterima pemerintah daerah setempat. Mereka tidak bisa menerapkan pajak barang karena transaksi di toko tidak menggunakan mata uang rupiah.

Bagaimana dengan akomodasi wisatawan tersebut? Bukankah mereka butuh penginapan juga saat berlibur selama 5 hari itu?

Ini juga menjadi permasalahan tersendiri bagi pemangku wisata di Bali. Tidak jarang, rombongan wisatawan asal Tiongkok menginap dengan menyewa satu villa untuk ditempati bersama-sama. 

Dan villa atau guest house tersebut, bisa ditebak, merupakan milik pengusaha Tiongkok pula. Seperti yang dikatakan Meilan, kondisi ini sudah seperti roda yang berputar, uang dari Tiongkok, masuk ke toko/penginapan milik pengusaha tiongkok, dan memakai sistem pembayaran ala Tiongkok.

Tak hanya pemerintah Bali saja yang dirugikan. Wisatawan juga merasa ditipu. Mereka tidak punya kesempatan untuk melihat keindahan panorama alam Bali, karena waktu liburan mereka habis hanya untuk berkunjung dari satu toko ke toko lain. Dikhawatirkan, mereka nanti akan beranggapan Bali itu tidak menarik lagi, dan ujung-ujungnya berita buruk tentang Bali pun akan menyebar luas.

Karena itu, pemangku pariwisata Bali berharap pemerintah pusat mengambil langkah tegas terhadap praktik jual murah dan pola pariwisata seperti ini. Menurut Chandra Salim dari Komite Tiongkok Nasional, apa yang diterapkan pemerintah Thailand bisa ditiru oleh pemerintah setempat.

"Jika tidak membawa uang sekitar Rp 5 juta, dalam rekening tidak diberikan masuk Thailand untuk wisatawan Tiongkok," urai Chandra.

Sementara Ketua Komite Tiongkok DPP Asita Herry Sudiarto mengatakan perlu ada ketegasan pemerintah, sebelum semakin parah praktek -- praktek yang terjadi di dunia pariwisata Bali khususnya terkait pangsa Tiongkok. 

"Pemerintah mesti berani tegas, untuk bisa Bali lebih bagus. Jika dibiarkan seperti ini jelas, akan semakin parah kedepannya. Mesti dibuatkan regulasi yang kuat, untuk bisa melindungi yang legal dan menertibkan yang ilegal," harapnya.

"Menjadi sangat aneh ketika kita di Indonesia mau ke Tiongkok, paling murah tiket, hotel dan makan habis sekitar Rp 20 juta. Berbanding Rp 600 ribu," pungkasnya.

Sumber Berita:
Balipost
Baliexpress

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun