Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Humor Satire dari Agatha Christie dan Teknik Memelintir Berita

15 Oktober 2018   16:36 Diperbarui: 18 Oktober 2018   11:16 1330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: csmonitor.com/justin ide/reuters

Hanya orang yang tidak suka membaca saja yang tidak kenal nama Agatha Christie. Dame Agatha Mary Clarissa Christie, DBE, pencipta tokoh detektif Hercule Poirot itu, namanya disejajarkan dengan Sir Arthur Conan Doyle, pencipta tokoh detektif Sherlock Holmes.

Selama hidupnya, Agatha Christie sudah menghasilkan lebih dari 80 novel. Sebagian besar berkisah tentang petualangan dan penyelesaian berbagai kasus kejahatan serta misteri dari dua tokoh detektif terkenal yang diciptakannya, yakni Hercule Poirot dan Miss Jane Marple.

Dalam menceritakan kisah detektifnya, Agatha Christie selalu teliti dan bermain adil terhadap pembaca bukunya. Dalam arti, dia selalu memastikan bahwa semua informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan teka-tekinya memang sudah diberikan.

Meski novel detektifnya memiliki alur cerita yang serius dan penuh misteri, Agatha Christie sesungguhnya orang yang humoris.

Dalam setiap novelnya, dia selalu menyelipkan humor dengan begitu halusnya sehingga kadang saat kita membacanya akan terlewat begitu saja. Sebagian besar humor yang diselipkan Agatha Christie merupakan personifikasi dari tokoh-tokoh karakter ciptaannya dan bergaya satire.

Dari sekian banyak novel detektif yang menceritakan kisah Hercule Poirot, ada satu novel yang menurut saya menarik--selain karya besarnya yakni novel Pembunuhan Atas Roger Ackryod yang terkenal akan akhir ceritanya yang menakjubkan--yakni Death in the Clouds (Maut di Udara).

Dalam novel itu Agatha Christie memasukkan humor satire tentang bagaimana seorang wartawan memelintir hasil wawancara sehingga bisa menghasilkan sebuah berita, tentu dengan sudut pandang yang diinginkan si wartawan tersebut.

Novel ini menceritakan terbunuhnya Madam Giselle, salah seorang penumpang pesawat Promotheus. Yang menjadi misteri bagi pihak polisi adalah, Madam Giselle disangka dibunuh dengan sumpit dan panah berisi racun Curare, sebuah racun yang biasa digunakan penduduk pribumi dari hutan-hutan Amerika Selatan. Siapa dan bagaimana caranya Madam Giselle dibunuh? Inilah yang menjadi tugas Hercule Poirot. Karena dalam pemeriksaan pendahuluan, dewan juri menuduh detektif berkumis tebal ini sebagai pelakunya karena sumpit yang disangka sebagai alat pembunuh ditemukan di balik sandaran tempat duduknya.

Pemeriksaan pendahuluan itu menarik perhatian publik. Selain karena kasusnya yang sensasional, juga karena keterlibatan beberapa tokoh masyarakat di dalamnya.

Para wartawan yang meliput pemeriksaan itu berlomba-lomba membuat judul yang bombastis. Disinilah letak humor yang disajikan Agatha Christie. 

Cara penulis novel ini dalam meletakkan humornya begitu halus dan pendek-pendek, sehingga menyatu dalam satu alur cerita yang menegangkan. Jika ada yang membaca terlalu cepat, mungkin akan terlewatkan. Namun bagi pembaca yang teliti, bisa dipastikan dia akan tersenyum sendiri saat sampai di bagian ini.

Satu bagian yang menarik dari humor yang ada dalam novel ini adalah bagaimana seorang wartawan memelintir hasil wawancaranya. Dan ini ditunjukkan dengan begitu gamblangnya oleh Agatha Christie.

Ia menuliskan, seorang wartawan hendak mewawancarai dua orang saksi yang ikut dalam penerbangan maut tersebut. Keduanya menolak untuk diwawancarai, meski diiming-imingi dengan sejumlah besar uang.  Meski tidak berhasil mendapat tanggapan dari kedua saksi tersebut, toh si wartawan berhasil membuatnya menjadi berita. Bagaimana cara si wartawan mengubah penolakan wawancara menjadi sebuah berita penuh? Silahkan dibaca sendiri.

Eh bien, sebenarnya saya tak hendak membuat resensi novel tersebut. Saya hanya ingin menunjukkan, bahwa di jaman bahuela dulu (novel ini ditulis pada tahun 1935), wartawan sudah bisa memelintir sebuah hasil wawancara, setidaknya itu yang diceritakan oleh Agatha Christie. Apalagi di era digital sekarang, di mana clickbait sudah menjadi hukum alam dan pedoman dasar dari para jurnalis dan media digital.

Kita sering membaca judul-judul yang bombastis, yang mengundang kontroversi dan rasa penasaran para pembaca. Hasil wawancara penuh dikutip sepotong-sepotong, diambil pada bagian tertentu yang sekiranya menguntungkan media tersebut. Tak jarang, kutipan wawancara dipelintir sedemikian rupa supaya cocok dengan kepentingan si jurnalis dan media.

Yang terbaru dari kasus seperti ini adalah ucapan dari seorang Novel Bamukmin. Ada sebagian kutipannya yang -- entah dengan maksud apa - dipelintir oleh seorang jurnalis dari sebuah media (yang kredibel pula) sehingga menghasilkan judul dan berita yang clickbait, kemudian menjadi viral karena diteruskan oleh publik dengan tendensi khusus.

Dalam hak jawab yang juga dimuat di media tersebut, Novel Bamukmin menjelaskan kronologis pernyataannya yang dikutip secara berbeda. Dari kata CINTA menjadi PINTA. Berubah satu huruf, tapi menjadi sangat lain artinya. 

Dari pernyataan "Cinta kepada Allah, Cinta kepada Rasulullah, Cinta Prabowo dan Sandi" menjadi "Pinta kepada Allah, Rasul, Prabowo-Sandi". Salah dengar atau sengaja dipelintir karena ada tendensi tertentu? Entahlah, tapi media lain memuat pernyataan Novel Bamukmin secara tepat, tidak berubah satu huruf pun.

Begitulah media dan jurnalis sekarang. Terkadang karena tuntutan pemuatan berita yang cepat, faktor ketepatan berita menjadi terabaikan. Bisa pula karena tuntutan clikcbait, sebuah pernyataan yang biasa saja dipelintir maknanya supaya bisa menggaet pembaca.

Jangan dikira media sekarang itu netral sepenuhnya. Jangan dikira pula jurnalis sekarang itu memiliki prinsip sebagai penyampai pesan saja, tanpa ada modus kepentingan yang melatarbelakanginya. Sulit dan sangat langka kita bisa menjumpai media dan jurnalis yang berdiri tepat di garis tengah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun