Sebuah pertanyaan menarik dilontarkan kompasianer Muthiah Alhasany, bahwa jika eks koruptor boleh menjadi caleg, apa gunanya SKCK? Sebuah pertanyaan yang mungkin pula ada di benak banyak rakyat menyusul keputusan Mahkamah Agung yang memperbolehkan bekas narapidana mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.
Keputusan final dari Mahkamah Agung tersebut memang mengakhiri polemik panjang antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sejak awal, KPU sudah menutup pintu bagi eks narapidana korupsi untuk mencalonkan diri dengan mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) nomor 20 tahun 2018.Â
Namun, peraturan ini kemudian digugat oleh beberapa anggota legislatif yang pernah menjadi narapidana korupsi. Mereka menganggap peraturan ini bertentangan dengan UU Pemilu tahun 2007. PKPU ini juga mendapat penolakan dari Bawaslu dan mengatakan KPU sudah melampaui wewenang dalam memutuskan hak warga negara untuk mencalonkan diri.
Dalam persidangan uji materi, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan tersebut dan menilai PKPU nomor 20 tahun 2018 bertentangan dengan UU Pemilu tahun 2007. Berdasarkan UU pemilu, setiap orang yang memiliki riwayat pidana atau pernah menjadi terpidana dibolehkan mendaftar sebagai caleg namun wajib mengumumkannya ke publik. Putusan final dari MA ini membuat KPU akhirnya meloloskan bakal calon legislatif yang pernah menjadi narapidana, dengan memberi catatan khusus dan mengumumkannya pada publik.
Namun, penyelesaian polemik ini tidak memuaskan sebagian besar masyarakat. Banyak pihak yang menyesalkan putusan MA tersebut. Dari sisi norma sosial kemasyarakatan, memang tidak etis seorang yang pernah korupsi atau terlibat tindak kejahatan lain menjadi wakil rakyat. Namun dari sisi hukum, putusan MA tersebut sudah benar dan tepat.Â
Kedudukan undang-undang berada diatas peraturan, meskipun itu datangnya dari KPU sekalipun. Seharusnya, jika masyarakat menilai eks koruptor tidak boleh mencalonkan diri, maka UU Pemilu-lah yang harus direvisi, bukan dengan menerbitkan peraturan tersendiri. Maka, dengan adanya putusan MA tersebut, setiap eks koruptor bisa dapat mencalonkan diri dengan syarat-syarat yang ditentukan UU Pemilu. Salah satunya adalah melampirkan SKCK dari Kepolisian.
Akan halnya pertanyaan diatas, bahwa apa gunanya SKCK jika eks koruptor boleh menjadi caleg. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mengerti dahulu apa SKCK itu. Mengutip dari penjelasan di situs Polri:
Surat Keterangan Catatan Kepolisian adalah surat keterangan resmi yang diterbitkan oleh POLRI melalui fungsi Intelkam kepada seseorang pemohon/warga masyarakat untuk memenuhi permohonan dari yang bersangkutan atau suatu keperluan karena adanya ketentuan yang mempersyaratkan, berdasarkan hasil penelitian biodata dan catatan Kepolisian yang ada tentang orang tersebut.
Dalam istilah modern, SKCK adalah track record dari seseorang, apakah dia pernah terlibat pidana atau belum. Berdasarkan definisi itu pula, SKCK tidak menggugurkan/menghapuskan hak seseorang. Permasalahan akan menjadi berbeda jika syarat menjadi caleg adalah harus melampirkan SKKB (Surat Keterangan Kelakuan Baik). Sebelum dirubah menjadi SKCK, surat ini (SKKB) hanya dapat diberikan pada seseorang pemohon/warga masyarakat yang tidak/belum pernah tercatat melakukan tindakan kejahatan hingga tanggal dikeluarkannya SKKB tersebut. Jika SKCK tidak bisa menghapus hak pemohon, maka SKKB bisa menghapus hak pemohon.
Karena itu, pertanyaan yang dilontarkan diatas terdengar aneh karena memang tidak ada hubungan antara SKCK dengan hak dari pemohon/pemegang SKCK tersebut. Kembali lagi pada masalah etika. Jika masyarakat, atau KPU menilai seorang eks koruptor tidak etis mencalonkan diri sebagai wakil rakyat sehingga menghapus hak yang dijamin oleh UU Pemilu, maka yang harus dirubah adalah UU Pemilu tersebut.Â
Atau, KPU bisa menghalangi masuknya eks koruptor dengan memasukkan persyaratan bahwa setiap orang yang hendak mencalonkan diri menjadi anggota legislatif harus melampirkan SKKB. Namun, berhubung SKKB sudah tidak berlaku, diganti dengan SKCK, dengan sendirinya siapapun bisa mencalonkan diri untuk menjadi anggota legislatif, terlepas dari statusnya yang mantan narapidana.