Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Bulan Muharram, Tahun Baru Islam dan Makna Hijrah yang Semestinya

11 September 2018   15:47 Diperbarui: 11 Agustus 2021   06:10 5321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tahun Baru Islam 1 Muharam.| Sumber: Freepik via Kompas.tv

Bulan Muharram adalah salah satu bulan yang mulia dalam Islam. Bulan Muharram juga menjadi bulan pembuka awal tahun Hijriah dalam sistem penanggalan Islam. 

Hijriah dan Hijrah, secara linguistik terdengar mirip. Karenanya, banyak yang memaknai Tahun Baru Hijriah, tahun barunya umat Islam sebagai peringatan pada peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Yatsrib (Madinah).

Memang tidak sepenuhnya salah. Karena menurut sejarahnya, penetapan tahun Hijriah disandarkan pada tahun terjadinya peristiwa hijrah tersebut.

Setelah wafatnya Nabi Muhammad, para sahabat meminta khalifah Umar bin Khattab untuk menetapkan kapan dimulainya atau Tahun 1 dan bulan apa yang mengawali Kalender Islam. 

Beberapa sahabat mengusulkan adalah tahun kelahiran Muhammad sebagai awal patokan penanggalan Islam. Ada pula yang mengusulkan awal patokan penanggalan Islam adalah tahun wafatnya Nabi Muhammad. Hingga akhirnya, pada tahun 638 M (17 H), khalifah Umar bin Khatab menetapkan awal patokan penanggalan Islam adalah tahun dimana terjadi hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah.

Sementara tanggal persis terjadinya peristiwa hijrah tersebut tidak diketahui pasti. Meskipun banyak ahli tarikh Islam berpendapat, Nabi Muhammad hijrah ke Madinah bertepatan dengan bulan Rabiul Awwal.

Dalam konteks perkembangan zaman terkini, peringatan Tahun Baru Islam lebih banyak dititikberatkan pada peristiwa Hijrahnya Rasulullah SAW. 

Ini memang penting, karena hijrahnya Rasulullah dan kaum Muhajirin ke Madinah menjadi tonggak sejarah perkembangan, penyebaran agama dan peradaban Islam ke seluruh muka bumi. Namun, jangan lupakan pula esensi syariat agama yang terkandung dalam peringatan Tahun Baru Islam ini.

Sumber ilustrasi: comingsoon.ae
Sumber ilustrasi: comingsoon.ae
Bulan pembuka awal tahun kalender Islam adalah bulan Muharram. Bulan ini merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Allah berfirman:

"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." (QS. At Taubah: 36)

Apa saja empat bulan haram seperti yang difirmankan Allah SWT tersebut?
Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo'dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya'ban." (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Menurut Ibnu Abbas, empat bulan tersebut dinamakan bulan haram (suci) karena pada bulan-bulan itu seseorang yang melakukan maksiat dosanya akan lebih besar, dan begitu pula sebaliknya, jika melakukan kebaikan maka pahalanya juga akan lebih besar.

Kedudukan bulan Muharram sebagai bulan suci sangatlah mulia. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam. (HR. Muslim 2812).

Ada dua makna terkait bunyi hadist di atas. Yang pertama, Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah. Yang kedua, adalah anjuran untuk berpuasa di bulan Muharram, karena keutamaannya berada dibawah puasa wajib bulan Ramadhan.

Keistimewaan bulan Muharram tidak hanya diakui sebagai hak milik umat Islam saja. Pada zaman jahiliyah, umat Yahudi dan Nasrani, maupun kaum Quraisy juga menghormati bulan yang awalnya bernama Shoffar al Awwal. 

Pada bulan ini, umat Yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram, sebagai bentuk rasa syukur pada Allah yang telah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya.

Ibn 'Abbas r.a berkata: 

"Rasulullah SAW datang ke Madinah dan melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari' Asyura ' (10 Muharram). Beliau pun bertanya kepada mereka tentang hal tersebut. Maka orang-orang Yahudi tersebut menjawab, "Hari ini adalah hari di mana Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta celakanya Fir'aun serta pengikutnya. Maka dari itu kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah". Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata, "Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian". Maka Rasulullah pun menganjurkan untuk berpuasa pula di bulan Muharram. (HR. Bukhari, no 1865).

Dalam riwayat Abu Musa, selain berpuasa, umat Yahudi juga menggunakan hari Asyura sebagai sebuah festival, dan para wanita mereka akan mengenakan perhiasan dan simbol-simbol pada hari itu.

Karena itu, menurut tafsir Ibnu Hajar, motif dari perintah berpuasa pada umat Islam di hari Asyura (bulan Muharram) adalah untuk menyelisihi budaya kaum Yahudi tersebut. Umat Islam berpuasa ketika orang Yahudi tidak, karena semestinya orang tidak berpuasa pada hari perayaan. (Fath al-Bari Sharh 'ala Sahih al-Bukhari).

Datangnya perubahan jaman mendatangkan pula perubahan terhadap makna bulan Muharram. Tahun Baru Islam yang diawali dengan bulan Muharram hanya dimaknai sebagai peringatan terhadap peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW saja. 

Lebih dari itu, makna hijrah juga mengalami pergeseran akibat adanya gesekan dengan pop culture. Sekarang, setiap perpindahan lazim disebut sebagai hijrah. Pindah kerja dibilang hijrah, bahkan politikus yang pindah partai pun dikatakan hijrah pula.

Makna Hijrah sesungguhnya lebih dalam daripada sekedar berpindah tempat saja. Hijrah, secara literal berasal dari bahasa Arab yang berarti 'meninggalkan, menjauhkan dari dan berpindah tempat'. 

Dalam memperingati Tahun Baru Islam, seyogyanya kita tidak hanya memperingati peristiwa hijrahnya Rasulullah dan kaum Muhajirin saja. 

Lebih dari itu, kita juga harus bisa mengambil pelajaran penting tentang arti hijrah yang sebenarnya. Kita semestinya bisa mendudukkan kembali pengertian hijrah yang telah tergeser oleh budaya pop sehingga maknanya menjadi kering, hanya sekedar lip sync untuk menggambarkan perpindahan ragawi saja.

Ketika kita bicara hijrah yang semestinya, kita tahu bahwa dalam konteks syariat Islam, Hijrah berarti meninggalkan/menjauhkan keburukan dan perbuatan munkar untuk berpindah menuju kebaikan dan jalan yang ditempuh Rasulullah, yaitu jalan Allah.

Dengan demikian, ketika datang bulan Muharram - yang didalamnya kita peringati sebagai awal bulan Tahun Baru Islam - inilah saatnya kita berhijrah dengan semestinya. 

Bulan Muharram bukanlah bulan festival, sebagaimana yang dulu dilakukan oleh orang-orang Yahudi di jaman Jahiliyah. Bulan Muharram adalah bulan yang suci, Bulan Allah dimana setiap perbuatan maksiat akan dihukum lebih berat, dan perbuatan baik mendapat pahala yang lebih besar.

Kita peringati peristiwa hijrahnya Rasulullah dengan hijrah pribadi. Yakni dengan mengisi bulan yang suci ini dengan berbagai kegiatan peribadatan sebagaimana yang dianjurkan Rasulullah. Memperbanyak puasa sunnah, memperbanyak amal kebaikan dan menghindari segala perbuatan dosa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun