"Tadi lho pak, pelari Indonesia hebat. Pertama kalah, lalu dia melesat nyusul lawannya, terus menang." Begitulah reportase anak saya ketika melihat aksi Lalu M Zohri di babak semifinal lari 100 meter putra Asian Games 2018. Karena ada kegiatan di luar, saya tak sempat melihat langsung aksi pelari muda Indonesia yang baru saja menjadi juara dunia lari 100 meter yunior di Finlandia tersebut.
Reportase yang disampaikan anak saya tersebut membuat saya penasaran, seperti apa aksi Lalu M Zohri di lintasan atletik. Maka ketika melihat jadwal pertandingan Asian Games dan mendapati final 100 meter putra ditayangkan langsung pada Minggu (26/8/2018) malam, layar televisi di rumah sudah saya setel ke channel stasiun televisi yang menyiarkannya.
Jarum jam seakan melambat. Layar televisi masih bergantian menyiarkan pertandingan bola voli antara Indonesia melawan Thailand. Diselingi dengan beberapa pertandingan cabang atletik yang semuanya dilangsungkan di area Gelora Bung Karno. Sementara pembawa acara tak hentinya mengingatkan bahwa sebentar lagi pertandingan final nomor 100 meter putra akan dilangsungkan.
Pada babak final nomor atletik yang paling populer ini, Indonesia hanya menempatkan satu atlet saja. Siapa lagi kalau bukan Lalu Mohammad Zohri, bintang atletik muda yang tengah bersinar. Nama Zohri menjadi buah bibir ketika secara mengejutkan dia menjadi juara dunia pada kejuaraan atletik dunia U-20 di Finlandia. Di final, Zohri mencatatkan waktu terbaik, yakni 10.18 detik.
Detik-detik pertandingan final lari 100 meter putra pun tiba. Sebanyak 8 pelari sudah memasuki lintasan Atletik di Main Stadium Gelora Bung Karno. Satu per satu nama atlet disebutkan. Dan ketika sampai pada nama Lalu M Zohri, Gelora Bung Karno seakan bergemuruh. Teriakan dukungan bercampur dengan tepukan membahana dari suporter Indonesia yang memenuhi GBK terdengar begitu jelas dari layar televisi berukuran 24 inchi di rak lemari ruang keluarga saya.
"Ya belum lah dik, ini baru mulai pertandingannya".
Ketika para pelari mengambil posisi start, dada saya berdetak kencang. Nafas seakan tertahan akibat rasa tegang menanti aksi Zohri. Dan saat para sprinter mulai berlari, sorakan yang ada di stadion kalah dengan teriakan anak saya yang turut menyoraki Zohri di depan layar televisi.
"Yah, kalah pak," nada sedih terdengar dari si kecil sewaktu melihat jagoannya hanya menduduki posisi ketujuh.
"Tidak mengapa dik, dia sudah berusaha sekuat tenaga. Nanti kalau bertanding lagi mudah-mudahan bisa menang" kata saya menenangkan kegalauan si kecil.
Zohri memang pantas menjadi jagoan bagi anak-anak. Usianya masih muda, baru 18 tahun tapi sudah menorehkan prestasi yang mendunia. Namun, masih banyak yang harus diperbaiki dari sisi teknik berlari putra asli NTB ini.