Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gempa Lombok dan Tiadanya Pemimpin Berjiwa Pemenang di Indonesia

23 Agustus 2018   23:44 Diperbarui: 24 Agustus 2018   00:25 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

5 Agustus 2010, lokasi tambang emas dan tembaga San Jose di Chile runtuh. 33 orang pekerja tambang terperangkap di ruang bawah tanah. Tidak diketahui bagaimana kondisi mereka karena tidak adanya alat komunikasi yang menghubungkan mereka dengan dunia luar.

Keesokan harinya, Menteri Pertambangan Chile, Laurence Golborne membatalkan kunjungannya ke Ekuador dan mendatangi lokasi pertambangan yang runtuh. Setelah mengabari presiden Chile Miguel Juan Sebastian Pinera, pemerintah Chile memutuskan untuk melakukan operasi penyelamatan. Tak peduli berapapun biayanya, apapun resikonya, ke-33 pekerja tambang itu harus diselamatkan. Minimal, pihak keluarga pekerja tambang itu harus segera tahu bagaimana kondisi mereka.

Ini adalah sebuah misi yang nyaris mustahil. Sekitar 700 ribu ton batu padas yang runtuh membuat para pekerja tambang yang terperangkap di kedalaman 2.297 kaki bawah tanah semula tidak memiliki harapan untuk ditemukan. Meski begitu, operasi penyelamatan tetap dilakukan.

130 orang penyelamat diturunkan untuk operasi penyelamatan yang paling kompleks dalam sejarah pertambangan dunia ini. Para ahli geolog, tukang bor paling handal, insinyur NASA, ahli gizi dan tak ketinggalan psikolog dari penjuru dunia didatangkan. Operasi ini dikabarkan menelan dana hingga US$ 20 juta.

Pada 22 Agustus, harapan tim penyelamat membuncah ketika bor ditarik keluar, ada sebuah catatan menempel yang bertuliskan "Kami, 33 orang di dalam sini, baik-baik saja". Presiden Pinera pun memilih untuk menunda rangkaian kunjungannya ke Eropa. Dia memutuskan untuk membangun kantor sementara di lokasi pertambangan, supaya bisa memantau langsung operasi penyelamatan tersebut.

Semenjak mengetahui warganya yang terperangkap di ribuan kaki di bawah tanah itu masih hidup, berbagai upaya dilakukan Pinera. Dibuatlah tiga kapsul untuk mengirim pasokan logistik supaya para pekerja tambang tersebut mampu bertahan hidup sementara operasi penyelamatan terus dilakukan. Aspek psikologi sangat diperhatikan Presiden Pinera. Dia terus menggelorakan inspirasi kepada korban, keluarga korban dan seluruh warga Chile yang terus memantau operasi penyelamatan tersebut. Termasuk meminta doa rosario dari seluruh warga Chile dengan kiriman tasbih dari Vatikan yang telah diberkati Paus Benediktus XIV.

Pada 13 Oktober 2010, Pekerja tambang pertama bernama Florencio Avalos berhasil diselamatkan pukul 00.11 dini hari waktu setempat. 22,5 jam kemudian Luis Urzua, pemimpin regu penambang yang ikut terperangkap menjadi orang terakhir yang berhasil dievakuasi. Saat menginjak permukaan bumi, di sampingnya berdiri  Presiden Chile, Pinera menyanyikan lagu kebangsaan Chile.

"Saya bangga kepada Anda, Tuan Presien yang amat berperikemanusiaan. Anda seorang pemimpin dahsyat. Kami berjuang keras bertahan hidup karena inspirasi anda dan keluarga," kata Urzua kepada Presiden Pinera sesaat setelah ia berhasil diangkat dari perut bumi.

Sebastian Pinera memang pantas mendapat penghormatan yang layak dari seluruh warganya. Keputusannya untuk melakukan operasi penyelamatan, dengan biaya yang begitu besar mulanya dianggap sia-sia. Tapi bukti menepati janji. Hasrat membara pantang menyerah didukung teknologi mutakhir terbukti berjaya mengatasi persoalan besar dan menghindari tragedi besar.

Akan halnya di negaranya Via Vallen. Negeri yang kaya raya akan hasil alamnya, juga kaya akan bencana. Saat banjir bandang, longsor, gunung meletus, dan gempa bumi, yang tampak adalah perlombaan mencari panggung kehormatan. Setiap kelompok yang mengirimkan bantuan saling bersaing mengunggulkan diri. Semua serba dipolitisir. Bencana alam pun dijadikan sebuah bencana politis. Layaknya sebuah barang dagangan yang laku dijual, apalagi menjelang masa pemilihan umum. Tak ada sudut pandang kemanusiaan.

Bencana alam memang tidak memandang waktu. Pun begitu saat Lombok dan Sumbawa diguncang gempa bumi bertubi-tubi. Di saat yang sama, negara sedang punya hajat internasional yang nyaris menyita seluruh perhatian. Asian Games harus dibuka dan dilaksanakan. Karena para undangan dan atlet yang hendak berjuang sudah mulai berdatangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun