Piala Dunia sudah berlangsung satu minggu lebih. Kejutan demi kejutan mewarnai turnamen sepakbola terbesar di jagat raya yang digelar di Rusia ini. Tim-tim yang tidak diunggulkan mampu menjungkirbalikkan prediksi diatas kertas. Jepang mengalahkan Kolombia, sementara Islandia mampu menahan imbang raksasa sepakbola Argentina.
Dari kejutan yang telah dihasilkan selama satu putaran pertandingan pertama Piala Dunia 2018 ini, ada satu fakta yang tak terelakkan, bahwa populasi, sejarah dan bakat individu pemain bukanlah satu-satunya bahan untuk bisa meraih kesuksesan di lapangan hijau.
Kemampuan manajerial bisa membuat perbedaan yang nyata. Fakta tersebut ditunjukkan oleh Islandia. Negara dengan populasi sekitar 300 ribu jiwa ini mampu lolos ke putaran final, sekaligus mampu menahan imbang Argentina yang diisi banyak pemain bintang dan berpengalaman.
Ketika Didier Deschamps membangun kembali tim nasional Prancis
Dalam bukunya Edge: Leadership Secret From Football's Top Thinker, penulis Ben Lyttleton mengidentifikasi lima kemampuan penting  kepemimpinan dalam sebuah tim sepakbola yang meraih sukses. Yakni- kohesi, kemampuan beradaptasi, pengambilan keputusan, ketahanan, dan kreativitas - yang berhasil dikembangkan oleh manajer sepakbola di tim mereka.
Buku ini memberikan banyak tips tentang cara mendapatkan hasil maksimal dari bakat muda dan mengembangkan mental mereka dan, dalam kasus sepak bola, keterampilan fisik mereka. Dalam salah satu bagiannya, Lyttleton menceritakan kisah tentang bagaimana manajer Prancis Didier Deschamps membangun kembali tim sepak bola negaranya.
Prancis, pemenang Piala Dunia 1998 hancur lebur dalam Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Para pemain mogok, menolak untuk berlatih, setelah publik mencium pertengkaran antara pelatih Raymond Domenech dan penyerang Nicola Anelka. Anelka kemudian dipulangkan ke Prancis. Buntut dari tidak kondusifnya suasana ruang ganti tim, Prancis gagal lolos ke fase knock out.Â
Deschamps, mantan gelandang bertahan yang menjadi kapten Prancis saat memenangkan Piala Dunia 1998 dan Kejuaraan Eropa 2000, mengambil alih kursi pelatih tim nasional pada tahun 2012. Pola manajemen kepelatihannya didasarkan pada tiga pilar utama: komunikasi yang kuat, keaslian, dan kepercayaan. Deschamps menolak untuk memilih pemain pembuat onar, betapapun berbakatnya dia.
Dalam wawancara dengan Lyttleton, Deschamps memberi tahu bahwa dia tidak pernah membuat janji yang tidak bisa dia tepati. Dan dia membuat upaya bersama bagi seluruh anggota tim untuk mendengarkan. Pada tahun 2014, Perancis telah mendapatkan kembali kekuatannya. Mereka mampu mencapai perempatfinal Piala Dunia di Brasil, dan kemudian pada tahun 2016 mencapai final Kejuaraan Eropa. Untuk Piala Dunia di Rusia ini, Prancis adalah salah satu tim favorit.
Kisah Sukses Islandia di Piala Eropa 2016
Kebetulan, tim yang dikalahkan Prancis pada perempat final Piala Eropa 2016 lalu adalah Islandia. Tim negara kecil yang membuat kejutan dengan menyingkirkan Inggris, negara darimana sepakbola itu berasal. Cara Islandia membangun tim nasional mirip dengan apa yang dilakukan Deschamps pada tim nasional Prancis.
Dalam wawancara yang diterbitkan di Guardian pada bulan Juli 2016, pelatih Islandia, Heimir Hallgrimsson, mengatakan, "Keberhasilan kami berutang banyak pada peningkatan keyakinan secara bertahap dan nyata .... Memainkan 11 pemain awal yang sama dalam semua lima pertandingan - sesuatu yang saya tidak percaya telah terjadi sebelumnya di Kejuaraan Eropa - juga membuat perbedaan .... sepakbola kini memiliki identitas yang jelas. Kami telah menemukan cara untuk memenangkan pertandingan sepak bola menggunakan kualitas khusus pemain kami, dan dengan mengeluarkan semuanya dari mereka. "
Lebih lanjut, Hallgrimson menyatakan, "Jika ada beberapa pertanyaan tentang gaya kami, saya akan menjawab dengan mengatakan bahwa jika kami berusaha bermain seperti Spanyol, kami hanya akan menjadi replika buruk dari mereka. Ketika kami bisa, kami menunjukkan kualitas sepakbola yang bisa kami mainkan. Kami merasa nyaman dengan siapa kami, dan tugas sekarang adalah membuatnya bekerja selama bertahun-tahun ke depan."
Hallgrimson juga mengatakan, faktor atmosfer yang baik dalam sebuah tim merupakan salah satu kunci sukses timnya. "Saya akan mengatakan lokasi adalah salah satu faktor utama dalam kesuksesan kami; rasanya seperti rumah bagi semua orang, dan itu adalah faktor besar ketika Anda memiliki skuad 23 semua bersama-sama begitu lama, beberapa di antaranya mungkin frustrasi karena tidak bermain.
Atmosfer membantu mendorong semua orang dan. Pengalaman yang kita semua alami telah menjadi rollercoaster -- pada masing-masing pemain dan dalam setiap permainan. Kami menanganinya seperti yang selalu kami lakukan, dengan positif dan optimis. Jika Anda memanfaatkan kualitas-kualitas itu, maka Anda memiliki peluang, apa pun keadaan Anda".
Pernyataan Hallgrimson tersebut memberi pengertian pada kita bahwa Tim Islandia saat itu dalam kondisi yang kohesif dan bermain bersama dengan ketahanan yang lahir dari tujuan bersama. Mereka memainkan gaya asli sepakbola mereka, menanamkan keyakinan bahwa apa yang mereka miliki, apa yang pemain kuasai itulah yang harus dikeluarkan. Bukan untuk berusaha meniru gaya orang lain.
Islandia, yang pada Piala Dunia kali ini berada dalam grup yang terhitung berat-dengan Argentina, Kroasia dan Nigeria yang menjadi lawan- mungkin diprediksi tidak akan sampai melaju ke babak berikutnya.
Apapun hasil yang dicapai tim negara kecil ini, kita bisa meneladani prinsip-prinsip kepemimpinan yang telah membawa Hallgrimsson dan skuadnya sejauh ini: Menyediakan lingkungan yang terstruktur dan aman; menanamkan dalam tim rasa percaya diri; mengidentifikasi kekuatan spesifik anggota tim dan menetapkan peran yang sesuai; dan jangan takut untuk melihat di luar kotak pada sebuah bakat yang dapat meningkatkan kemampuan teknis tim .
referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H