Lebaran, adalah momen untuk berbagi kebahagiaan. Dan bagi anak-anak, saat yang paling dinanti jika lebaran tiba adalah ketika mereka mendapatkan salam tempel dari kerabat dan tetangga yang mereka datangi. Aneka makanan dan minuman yang disediakan pun seakan tidak menarik perhatian. Mereka seolah tak sabar menunggu, kapan pembagian salam tempel itu dilakukan.
Saya masih ingat, ketika masih kecil dulu, salam tempel sudah mulai menjadi tradisi. Awalnya, saat berkunjung ke rumah tetangga, kami ditawari untuk mencicipi aneka kue dan minuman yang sudah disediakan. Lambat laun, beberapa tetangga yang tergolong berada memberikan "sangu", istilah orang kampung untuk salam tempel. Besarnya waktu itu seratus rupiah.Â
Bagi anak-anak saat itu, uang seratus rupiah sudah terhitung besar. Karena itu, tak heran jika di rumah tetangga saya yang terhitung kaya, ramai dikunjungi anak-anak. Meskipun tidak kenal sekalipun, anak-anak yang polos itu nekat bertamu, sekedar mengharapkan salam tempel dari tuan rumah. Dan sore harinya ketika semua tetangga sudah dikunjungi, mereka lalu membandingkan perolehan salam tempel yang didapatkan.
Plus Minus Salam Tempel Lebaran
Tradisi salam tempel tidaklah buruk. Namun, juga mempunyai dua sisi yang kontradiktif. Memberikan salam tempel pada anak-anak bisa menjadi perwujudan rasa syukur kita atas kelebihan rezeki yang kita punya. Apalagi ketika melihat senyum bahagia anak-anak ketika menerima salam tempel dari kita. Ada kebahagiaan tersendiri yang tidak bisa dilukiskan.
Salam tempel juga menjadi sarana anak-anak untuk mewujudkan sesuatu yang mungkin sudah lama mereka inginkan. Uang dari salam tempel Lebaran yang mereka peroleh bisa dibelikan perlengkapan sekolah, mainan, untuk berlibur, atau bagi yang cermat bisa ditabung. Salam tempel juga memberi kesan dan pengalaman sendiri bagi anak-anak bahwa di saat Lebaran itulah mereka punya penghasilan pribadi.
Di sisi lain, tradisi memberikan salam tempel juga bisa membawa beban tersendiri bagi mereka yang "kebetulan" pada hari raya tersebut belum ada kelebihan rezeki. Apalagi di jaman sekarang ini, seolah ada pameo bahwa setiap hari raya wajib hukumnya memberikan salam tempel. Jika tidak memberi, kesan pelit bisa menempel pada kita.
Begitu pula bagi anak-anak. Tradisi salam tempel dikhawatirkan bisa membuat mereka memiliki mental peminta-minta. Yang dipikirkan saat lebaran tiba adalah salam tempelnya. Bukan pembelajaran untuk menyambung tali silaturahim dengan saling berkunjung ke kerabat dan tetangga. Bukan pula pembelajaran untuk bersikap menghormati hidangan yang sudah disajikan tuan rumah ketika mereka berkunjung.
Pernah suatu ketika, serombongan anak-anak kecil datang ke rumah. Setelah mengucap salam, kami mempersilahkan masuk dan menawarkan kue serta minuman yang sudah tersedia. Namun, anak-anak itu hanya berdiri. Beberapa diantaranya saling menyenggol lengan temannya. Akhirnya salah seorang anak yang tertua berkata, "Sudah pak, terima kasih. Kami terburu-buru, belum berkunjung ke yang lain". Anak-anak itu masih berdiri, tidak mengindahkan tawaran untuk duduk sebentar dan mencicipi kue-kue lebaran di meja.
Sambil tersenyum, saya kemudian mempersilahkan anak-anak masuk ke ruang dalam dimana istri saya sedang membagikan salam tempel bagi anak-anak yang sudah datang terlebih dahulu. Saya tahu, mereka berdiri tanpa mau duduk dan makan kue dulu tadi hanya menunggu undangan pemberian salam tempel.
Suatu ketika pula di rumah tetangg yang saat itu sedang saya kunjungi, serombongan anak-anak bertamu. Alih-alih menyambut tamu-tamu kecil tersebut dengan penganan khas lebaran, tetangga saya, si tuan rumah ini langsung memberikan salam tempel kepada anak-anak. Dan bisa ditebak, begitu sudah mengantongi lembaran rupiah baru, anak-anak itu pun langsung permisi pulang.
Pengalaman seperti inilah yang kadang membuat saya berpikir dan khawatir, anak-anak kita seperti dibiasakan dengan mental meminta-minta uang saat lebaran tiba. Dan esensi saling berkunjung untuk menyambung tali silaturahim di hari raya seolah menghilang. Yang dinanti anak-anak tak lain cuma salam tempel belaka.