Lebaran sudah dekat, dan tiba-tiba pokok pembicaraan semua orang beralih ke masalah Tunjangan Hari Raya (THR). Siapa sih yang tidak ingin mendapatkan THR? Dari manajer hingga office boy tentu berharap dapat THR sebesar 1 kali gaji pokok mereka.
Apalagi bagi para pekerja urban. THR sangat membantu mereka disaat butuh biaya tambahan untuk bekal pulang ke kampung halaman. Mereka antusias membicarakan THR. Saat bertemu rekan kerja, saling berbisik dan bertanya kapan THR diberikan. Bila sudah menerima, saling berbisik lagi pingin tahu besarannya berapa.Â
Namun, tidak semua antusias membicarakan THR. Siapa mereka? Yang pertama tentu saja pengusaha. Bagi pemilik perusahaan besar yang secara finansial sudah mapan, anggaran THR tentu saja sudah mereka siapkan sejak jauh-jauh hari. Beda halnya dengan para pengusaha kecil yang kondisi finansial perusahaan mereka kembang kempis.Â
Untuk membayar gaji pokok karyawan mereka saja sudah bersyukur. Ditambah kewajiban membayarkan THR, maka harus ada pengalihan anggaran. Dan jika sangat terpaksa, banyak diantara mereka yang terpaksa mengorbankan dana pribadi.
Pihak kedua yang tidak antusias membicarakan THR adalah pejabat Pemerintah Daerah, terutama bagian keuangan. Kok bisa? Ini akibat dari turunnya kebijakan pemerintah pusat perihal pemberian THR, atau gaji ke-14 bagi para PNS/ASN dan pensiunan. Ternyata, anggaran untuk THR yang besarnya sekitar 35 triliun itu sebagian besar dibebankan pada APBD masing-masing pemerintah daerah.Â
Nah lho, apa tidak pusing tuh para pejabat Pemda? Masih mending jika daerah mereka punya Dana Alokasi Umum yang besar, atau pendapatan daerah mereka banyak. Yang bikin runyam adalah daerah-daerah yang minus, yang selama ini harus menyusu pada pemerintah pusat.
Darimana mereka harus mengalokasikan dana untuk membayar THR para PNS di lingkungan pemda setempat? Alternatifnya tentu harus menggeser beberapa pos anggaran. Atau jika menuruti nasehat Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih baik berterus terang pada PNS bahwa untuk tahun ini dengan sangat terpaksa PNS di lingkungan Pemda tidak dapat THR.
Orang ketiga yang tidak antusias membicarakan THR adalah para wiraswasta. Mereka termasuk para pedagang, pekerja freelance hingga buruh lepas harian.
Bagi kalangan ini, THR itu ada dalam bentuk Tabungan Hari Raya. Hasil dari kelebihan rezeki yang mereka dapatkan dan kemudian ditabung khusus untuk keperluan hari raya. Jika tidak punya Tabungan Hari Raya, setidaknya mereka masih punya THR dalam bentuk lain, yakni Teman Hari Raya.
Nah, karena tidak semua orang antusias membicarakan THR, setidaknya kita bisa berhati-hati apabila sedang berkumpul dan ngobrol dengan mereka.
Sedapat mungkin hindari pembicaraan tentang THR. Bagi yang menerima tentu merasa senang dan bahagia. Tapi bagi yang belum dapat rezeki THR, tak elok rasanya kita menyinggung  masalah THR di depan mereka. Masih mending jika kita mau berbagi, yang banyak itu THR kita nikmati sendiri.