Seandainya saya jadi walikota, bupati, camat atau minimal lurah, salah satu kebijakan saya di bulan Ramadan adalah melarang kegiatan Sahur on the Road (SOTR) di wilayah yang saya pimpin.Â
Apapun dalihnya, bahkan dengan alasan untuk belajar berbagi dengan sesama, tetap saja kegiatan ini bagi saya lebih banyak mudharatnya (keburukannya) daripada manfaatnya.
Entah siapa yang pertama kali mempopulerkan kegiatan dan istilah ini. Ketika pertama kali diadakan, mungkin SOTR memiliki niat yang mulia, membagikan makanan sahur untuk warga kelas bawah yang hidup di jalanan. Tak ubahnya seperti bagi-bagi takjil gratis.
Tapi, semakin lama ada pergeseran niat dan aktivitas. Dari yang semula berbagi makan sahur, sekarang cuma jadi ajang kumpul-kumpul anak-anak muda. Bahkan tak jarang menimbulkan gesekan antar kelompok yang berujung pada perkelahian atau tawuran. Ada pula yang dibarengi dengan aksi vandalisme terhadap sarana umum milik pemerintah.
Dengan fakta seperti itu, adakah manfaat yang bisa diperoleh dari kegiatan semacam ini? Tidak ada. Dalih untuk berbagi makanan sahur bagi pengemis, anak jalanan atau warga kurang mampu lainnya dengan mudah bisa saya patahkan dengan satu pertanyaan alasan logis berikut ini: Memberi pancing dan mata kailnya jauh lebih baik daripada memberi umpan yang hanya habis dalam sekali makan.
Apakah yang dibutuhkan pengemis, anak jalanan atau warga kurang mampu lain di bulan Ramadan ini hanya makanan untuk sahur saja? Yang habis dalam satu kali makan?
Jika niatnya ingin bersedekah, ada banyak cara yang lebih elegan dan lebih memberdayakan. Menyalurkan kelebihan harta yang kita punya pada lembaga sosial atau di masjid-masjid terdekat jauh lebih baik daripada untuk dibelikan makanan sahur.
Bukan berarti saya menafikan kemuliaan berbagi makanan, apalagi di bulan suci yang penuh pahala ini. Tapi jika ada cara bersedekah yang lebih baik, mengapa harus bersedekah dengan cara yang mengundang keburukan?
Lagipula, acara Sahur on The Road juga rawan mengundang perbuatan-perbuatan maksiat lain, yang malah menghapus pahala ibadah puasa kita. Muda-mudi berboncengan rapat, saling ejek dan tawuran jika bertemu kelompok lain yang menjadi rival, merusak sarana umum dan lain sebagainya. Apakah perbuatan tersebut diajarkan dalam Islam?
Apalagi saat Sahur on The Road adalah di waktu sepertiga malam, yang merupakan waktu terbaik bagi umat Islam untuk bermunajat ke hadirat-Nya. Terlebih di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.Â
Daripada waktunya terbuang percuma dihabiskan di jalanan, lebih baik kita beri'tikaf di masjid sembari menunggu adzan subuh. Jauh dari maksiat, pahala pun didapat.