Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
"aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku" dan
menolak keputusan Nya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja".
Selesai membaca puisi ini, seolah-olah saya dinasehati. Untaian kalimat itu menghunjam sanubari saya. Mengingatkan manusia arti harta - benda yang dititipkan Allah kepadanya. Betapa angkuhnya manusia ketika barang titipanNya diambil oleh yang punya.
Makna Sebuah Titipan tidak hanya jeritan hati Rendra yang kehilangan seseorang yang sangat dicintainya. "Gugatan" Rendra terhadap Tuhan tersebut seakan mewakili apa yang selalu kita keluh kesahkan kala kehilangan orang atau sesuatu yang kita cintai. Padahal nyata kita paham, semua itu hanya sekedar titipan.
Kedua, perlakuan kita dalam berdoa dan beribadah yang menjadikan Allah sebagai mitra dagang. Apa beda mitra dagang dan kekasih? Rendra sudah menjelaskannya. Melalui bait paragraf terakhirnya, Rendra juga menyindir betapa munafik dan ironisnya kita yang setiap hari sholat, membaca do'a iftitah "hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah..." tapi ternyata kita memperlakukan ibadah itu sebagai praktik jual beli.
Padahal Allah telah berfirman; "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun."Â (Al-Baqoroh 155 -- 156).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H