"Kekuasaan pemerintah yang absolut menjadi berhala yang mengobrak-abrik tatanan nilai moral dan peradaban, sehingga terjadilah proses erosi kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa..."
Kutipan diatas saya ambil dari tulisan Si Burung Merak almarhum W.S Rendra dalam buku kecilnya " Rakyat Belum Merdeka". Buku ini kemungkinan besar tidak akan pernah anda jumpai di toko buku manapun. Wajar, karena buku kecil dan tipis ini dicetak dan diedarkan terbatas.
Buku yang berisi curahan kegelisahan Rendra pasca reformasi ini saya dapatkan langsung dari si Burung Merak, lengkap dengan parafnya yang khas. Momen ketika bertemu dan berdiskusi langsung dengan salah satu penyair, sastrawan dan budayawan besar yang pernah dimiliki Indonesia ini menjadi salah satu kenangan yang tak pernah saya lupakan.
Ketika itu saya masih aktif di pergerakan pers mahasiswa. Suatu ketika, salah seorang teman sesama aktivis pers (yang kini menjadi istri saya) mengajak saya untuk bertandang ke kediaman sastrawati Ratna Indraswari Ibrahim. Katanya, ada acara bedah buku dari seorang penulis besar. Dia tidak mengatakan siapa penulis besar yang dia maksud.
Sesampainya di rumah Mbak Ratna, terlihat beberapa teman sesama aktivis pers sedang duduk melingkar di ruang tamu. Magnet dari pertemuan itu ternyata WS Rendra! Rumah Mbak Ratna memang sering kedatangan tamu seniman atau penulis. Tapi baru kali ini saya menjumpai seniman sekelas WS Rendra datang secara incognito. Dan baru kali itu pula saya membaca karya Rendra yang bukan berupa sajak.
Orang memang mengenal Rendra sebagai penyair. Karya-karya puisinya melintas jaman. Sajak Rendra tak hanya bertema sosial kebangsaan. Malah banyak sekali sajak bertema religi yang dibuat si Burung Merak. Rendra adalah penyair yang mempunyai pandangan unik dalam hal tafsir keagamaan. Tentu bukan soal kepindahan agamanya yang membuat sajak-sajaknya menarik. Dalam beberapa puisi religinya, Rendra menyanjung Tuhan, sekaligus mengkritik praktik ritual keagamaan dari umat-Nya. Tafsiran puisi Rendra tentang Tuhan tetaplah Tuhan yang dicitrakan demikian dekat dengan sisi kemanusiaan manusia sendiri.
Salah satu sajak religi Rendra yang sangat menginspirasi saya adalah puisi "Makna Sebuah Titipan". Sebagaimana AA Navis yang menyindir perilaku umat melalui sosok Haji Sholeh dalam novel "Robohnya Surau Kami", begitu pula dengan Rendra melalui sajak Makna Sebuah Titipan. Hanya saja Rendra mewakilkan kritik itu dalam sudut pandang dirinya sendiri.
Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan
Bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya
Tetapi, mengapa aku tidak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yg bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh Nya?Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja yang melukiskan bahwa itu adalah deritaKetika aku berdoa, kuminta titipan yg cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta, lebih banyak mobil, lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!