Rentetan ledakan bom bunuh diri mengguncang kota Surabaya, Minggu (13/05/2018) pagi. Aksi ledakan bom bunuh diri di sejumlah gereja itu mengakibatkan 13 orang tak berdosa meninggal dunia, dan belasan lainnya terluka. Seluruh perhatian dunia langsung tertuju ke kota Pahlawan ini. Ucapan bela sungkawa dan pernyataan duka serta mengutuk aksi terorisme itu mengalir deras, memberi dukungan kepada pemerintah, rakyat Indonesia dan masyarakat Surabaya khususnya untuk tetap tegar dan bertindak tegas terhadap segala aksi terorisme yang tidak berperikemanusiaan.
Di balik aksi teror yang biadab tersebut, ada satu pertanyaan yang sedikit mengganjal. Mengapa kali ini kelompok peneror memilih kota Surabaya? Ada apa dibalik teror bom bunuh diri di kota kedua terbesar di Indonesia ini?
Jawaban sederhananya mungkin adalah karena terorisme tidak pandang bulu. Mereka oportunis, mengincar tempat yang luput dari perhatian aparat negara. Mereka meneror lokasi yang selama ini memang tidak pernah diperkirakan sebelumnya.
Surabaya adalah kota yang selama ini selalu aman-aman saja. Masyarakatnya pun majemuk, tidak  homogen pada satu paham atau agama tertentu. Memang, Islam masih menjadi agama mayoritas di kota tersebut. Tapi, kultur Islam di Surabaya kental dengan kultur NU yang lebih moderat. Ini karena Surabaya mempunyai ikatan sejarah yang kuat dengan NU karena di kota inilah organisasi terbesar di Indonesia tersebut dilahirkan.
Surabaya selama ini juga dikenal bersih dari aksi-aksi radikalisme. Kultur NU yang mengakar kuat di masyarakat muslim Surabaya membentengi mereka dari paham radikal. Memang beberapa kali terjadi aksi penolakan dar ormas setempat terhadap acara kajian agama yang pematerinya dianggap garis keras.
Begitu pula dengan sifat kepribadian masyarakatnya. Arek Surabaya mempunyai sifat yang keras dan pantang untuk mengenal kata takut. Hal ini ditandai dengan bahasa dan dialek Suruboyoan yang mereka gunakan sehari-hari, yang praktis jauh berbeda dengan bahasa Jawa di daerah lainnya. Orang Jawa (golongan Mataraman) pada umumnya menganggap dialek Suroboyoan adalah yang terkasar, namun sebenarnya itu menujukkan sikap tegas, lugas, dan terus terang. Sikap basa basi yang diagung-agungkan Wong Jawa, tidak berlaku dalam kehidupan Arek Suroboyo.Â
Misalnya dalam berbicara, Wong Jawa menekankan tidak boleh memandang mata lawan bicara yang lebih tua atau yang dituakan atau pemimpin, karena dianggap tidak sopan. Tapi dalam budaya Arek Suroboyo, hal tersebut menandakan bahwa orang tersebut sejatinya pengecut, karena tidak berani memandang mata lawan bicara.
Tipikal keras dan tak kenal takut dari masyarakat Surabaya inilah yang mungkin menjadi salah satu alasan aksi teror itu menyasar kota Surabaya dan sekitarnya. Para teroris itu seolah ingin unjuk diri bahwa mereka juga bisa melakukan teror di basis masyarakat yang terkenal pemberani. Sebaran teror mereka seperti ingin menjatuhkan mental dan psikologis masyarakat Indonesia yang dalam beberapa kali diguncang aksi teror menggaungkan slogan "Kami Tidak Takut".
Slogan tersebut memang bisa mengangkat moral masyarakat. Pemerintah tentu berharap masyarakat tetap tenang, tidak panik apalagi timbul kekacauan akibat teror yang ditimbulkan oleh kelompok biadab yang tidak bertanggung jawab. Namun, slogan tersebut juga seolah menjadi motivasi tersendiri bagi teroris. Peledakan bom bunuh diri di Kota Surabaya, kota yang selama ini dinilai aman, dengan tipikal masyarakat yang pemberani oleh para teroris dianggap menjadi jawaban atas slogan tersebut.
Sudah tentu kita semua berharap tidak akan terjadi lagi aksi terorisme yang menelan korban jiwa tak berdosa. Masyarakat berharap banyak pada pemerintah untuk bisa memberikan jawaban, mengapa hingga saat ini masih terjadi aksi teror. Dan menjadi kewajiban pemerintah pula untuk bisa memberikan perlindungan dan rasa aman pada rakyatnya. Menjawab aksi teror tak cukup hanya dengan gaung slogan kata-kata. Butuh tindakan nyata dari pemerintah, dan partisipasi masyarakat untuk aktif menjaga keamanan lingkungan sekitar. Supaya bibit-bibit terorisme tidak tumbuh subur di negeri tercinta ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H