Sementara untuk rumpun jalan anggota kerajaan Belanda diganti dengan nama-nama pahlawan nasional seperti Wilhelminastraat menjadi jalan Dr. Cipto, Julianastraat menjadi jalan Kartini, Willemstraat menjadi jalan Diponegoro dan sebagainya.
Selain dua rumpun jalan ini, rumpun jalan yang lain hanya mengalami alih bahasa saja, dari semula berbahasa Belanda menjadi bahasa Indonesia atau kembali menjadi nama jalan kampung awal. Sebagai contoh Roomsche Kerkstraat menjadi jalan Gereja, Tennesweg menjadi jalan Tenis, Emplacementweg menjadi jalan Bingkil, Djodipanstraat menjadi jalan Jodipan, Smeroestraat menjadi jalan Semeru dan sebagainya.
Pemerintah Jepang sendiri saat itu tidak begitu ambil pusing dengan penamaan jalan. Tidak ada nama jalan yang berubah menjadi nama jalan Jepang. Jika Gemeenteraad (dewan kota era kolonial Belanda) banyak mengagendakan permasalahan yang bersifat teknis maka Malang Syu Sangi Kai (dewan kota era pendudukan Jepang) lebih banyak mengurus cara bekerja para Heiho, cara mendongkrak hasil bumi dan cara mengobarkan semangat rakyat untuk membela tanah air.Â
Tidak ada pembahasan tentang perbaikan dan pembangunan sarana kota. Ini membuat kota Malang praktis tidak mengalami perkembangan secara fisik. Dibanding merubah nama jalan, Jepang lebih tertarik untuk memobilisasi massa demi kelangsungan kekuasaannya. Sepertinya Jepang tidak punya banyak waktu untuk mendirikan simbol yang akan dikenang banyak orang.Â
Dalam masa pendudukannya yang singkat, Jepang hanya sibuk dengan latihan perang. Hanya satu taman saja yang diberi nama tokoh jepang yakni Beatrixpark menjadi Taman Tanaka, merujuk pada nama Minoru Tanaka, Residen Malang (Syutyokan) saat itu.
Perubahan Nama Jalan Era Orde Baru
Nama-nama jalan yang sudah dinasionalisasi itu bertahan hingga era pemerintahan Presiden Soekarno. Pada era pemerintahan Presiden Soeharto, nama-nama jalan diganti secara besar-besaran.Â
Di era Orde Baru inilah nama-nama jalan diubah demi kepentingan politik rejim yang berkuasa. Ada banyak nama jenderal, tokoh politik, atau mereka yang dianggap berjasa bagi rejim Orde Baru diabadikan menjadi nama jalan di Kota Malang. Lebih dari itu, banyak dari nama jalan baru yang menggantikan ini tidak memiliki relevansi lokal dan diterapkan secara serampangan sehingga merusak logika blok atau rumpun jalan yang dulu pernah disusun.
Nama-nama Pahlawan Revolusi diabadikan untuk mengganti sejumlah ruas jalan kota Malang. Bahkan, boleh dibilang Kota Malang mempunyai ruas jalan dengan nama Pahlawan Revolusi terlengkap. Jalan Ahmad Yani, S Parman, Soetoyo, DI Panjaitan, MT. Haryono, Katamso, Soegiono, hingga Pierre Tendean dan Ade Irma Suryani.Â
Alih-alih berada dalam satu rumpun kawasan, nama-nama jalan ini menyebar serampangan. Jalan Panjaitan dan MT Haryono ada di daerah Betek dan Dinoyo, sementara jalan Ahmad Yani, S Parman, Soetoyo berada di daerah Lowokwaru.
Selain Pahlawan Revolusi, pemerintah Orde Baru juga mengakomodir nama-nama pahlawan Ampera, atau mereka yang gugur saat berdemonstrasi menuntut pembubaran PKI. Total ada 7 nama pahlawan Ampera, yakni Julius Usman, Arief Rahman Hakim, Aries Munandar, Arif Margono, Syarif Al Qodri, Ikhwan Ridwan Rais (IR. Rais) serta Zainal Zakse. Pemberian nama jalan menurut nama pahlawan Ampera ini adalah yang terbanyak daripada kota-kota lainnya di Indonesia.