Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bapak Ibu Guru, Janganlah Memberi Tugas Siswa melalui Gawai

2 Mei 2018   09:28 Diperbarui: 3 Mei 2018   18:31 3327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo: Getty Images

Perkembangan teknologi adalah hal yang tidak bisa dihindarkan dan membawa banyak perubahan. Hampir semua aktivitas terasa mudah dikerjakan, akan tetapi banyak dampak yang tidak mudah dikendalikan. Termasuk dalam dunia pendidikan.

Teknologi dan internet layaknya dua sisi mata pedang. Di satu sisi mereka memudahkan setiap aktivitas individu dan membantu siswa dalam mencari informasi apapun terkait pembelajaran di sekolah. Siswa menjadi terbantukan jika ada soal-soal sulit yang jawabannya tidak mereka dapatkan di buku sekolah. Tapi pada sisi lain juga bisa menjadi candu yang berbahaya dan mengurangi kemampuan berpikir kritis dari para siswa.

Sayangnya, sebagai garda terdepan dunia pendidikan, para guru belum memahami sepenuhnya paradoks perkembangan teknologi dan internet ini. Guru justru menggunakan kemudahan yang ditawarkan teknologi dan internet dalam meringankan beban kerja mereka, tapi tidak memikirkan dampak negatif yang bisa ditimbulkan terhadap siswa.

Pada tingkat pendidikan menengah ke atas, mendidik siswa melalui gawai seolah menjadi sebuah kebiasaan, dan berkembang menjadi budaya baru. Dengan harga gawai dan paket internet yang terjangkau, guru seolah berpikir setidaknya setiap siswa mereka dibekali gawai dan nomor telepon selular oleh orang tuanya. Dengan begitu, guru akhirnya menjadi lebih sering memberi tugas melalui aplikasi pesan. Tak jarang pula, informasi terkait sekolah dan tugas-tugas anak didik disampaikan lewat pesan singkat secara mendadak.

Kondisi ini akhirnya membebani beberapa orang tua siswa. Mereka mau tidak mau harus membekali anak-anak mereka dengan gawai supaya tidak ketinggalan informasi tugas sekolah. Padahal, tidak semua orang tua dan siswa mampu dan mau membeli gawai dan paket internet.

Pada aplikasi WhatsApp di gawai anak saya misalnya, terdapat beberapa grup yang dibuat oleh masing-masing guru mata pelajaran tertentu, seperti grup Tugas IPA, grup Tugas IPS, grup Bahasa Inggris, dan lainnya. Setiap sore atau malam hari sepulangnya dari sekolah, bisa dipastikan putri saya selalu mengecek pesan di grup-grup tersebut, sekiranya ada tugas mendadak yang diberikan guru. Dan tidak sekali dua kali saja saya membaca pesan di grup WhatsApp putri saya, guru sekolahnya memberi tugas secara mendadak. Malam hari dikerjakan, besok harus dikumpulkan.

Hal ini memang tak bisa dihindari. Keberadaan gawai membuat informasi yang disampaikan guru atau pihak sekolah bisa cepat tersampaikan secara mudah. Namun ini juga sekaligus menjadi sebuah paradoks tersendiri. Di saat orang tua sedapat mungkin membatasi penggunaan gawai oleh anak mereka, guru malah membuat anak didik mereka menjadi tergantung pada keberadaan gawai sebagai media penyambung informasi pembelajaran.

Selain itu, penyampaian tugas sekolah atau materi pendidikan lainnya melalui gawai dan internet membuat siswa menjadi malas membaca buku, serta mengurangi daya berpikir kritis mereka. Siswa seolah merasa tanpa adanya buku, informasi dan jawaban soal-soal yang diberikan guru bisa mereka dapatkan di internet.

Siswa merasa tak perlu bersusah payah belajar grammar Bahasa Inggris, karena sudah ada Google Translate. Siswa merasa tak perlu bersusah payah menghafal berbagai rumus konversi satuan karena internet sudah menyediakannya, tinggal memasukkan angka dan sim salabim, keluarlah hasil perhitungan satuan konversinya.

Model pembelajaran seperti ini seolah menafikan arti penting gerakan literasi yang digelar pihak sekolah. Sebelum pelajaran dimulai, sekolah menyediakan waktu sekitar setengah jam supaya siswa bisa membaca berbagai macam buku di sekolah. Namun, ini menjadi tidak berarti karena sepulang sekolah, siswa kembali berkutat dengan gawai mereka.

Pada beberapa kesempatan pertemuan orang tua/wali murid dengan guru, berulang kali saya menyampaikan keberatan perihal penyampaian informasi sekolah dan tugas murid yang dilakukan guru melalui aplikasi perpesanan.

Jawaban yang saya terima, baik itu di SD tempat putra bungsu saya sekolah atau di SMP tempat putri sulung saya menimba ilmu hampir sama. "Untuk memudahkan kinerja guru". Selain jawaban klise tersebut, saya ternyata juga kalah suara, karena sebagian besar orang tua murid tidak keberatan dengan model pembelajaran seperti ini. Atau cuma saya saja yang terlalu khawatir akan dampak buruk penggunaan gawai dan internet yang berlebihan pada anak-anak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun