Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ramadan Harusnya Jadi Momentum Menjaga Stabilitas Harga Pangan

3 April 2018   00:12 Diperbarui: 3 April 2018   00:27 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak terasa kurang dari dua bulan lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan. Bulan suci dimana umat Islam di seluruh dunia diwajibkan untuk berpuasa. Iklan-iklan bernuansa Ramadhan dan bertemakan puasa sudah hilir mudik di layar televisi. Tentunya umat Islam sudah tidak sabar untuk segera menemui bulan yang penuh hikmah tersebut.

Jika masyarakat bergairah menyambut datangnya bulan Ramadhan, Pemerintah kita malah pusing memikirkan lonjakan harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya. Rutinitas yang selalu berjalan setiap tahun menjelang bulan Ramadhan. Inilah anehnya bulan Ramadhan di negeri kita. Seperti sebuah paradoks tersendiri.

Jika dinalar secara sederhana, semestinya saat bulan puasa tiba harga pangan turun dan ketersediaannya cukup atau terjadi surplus pasokan. Hal ini karena pada bulan Ramadhan umat muslim yang menjadi mayoritas di Indonesia "semestinya" mengurangi pola konsumsinya karena aktivitas berpuasa di siang hari. Dengan adanya aktivitas tersebut, secara logika tingkat konsumsi dan belanja barang (terutama bahan makanan) seharusnya menjadi turun.

Kata "semestinya" pada paragraf di atas sengaja saya beri tanda kutip karena faktanya konsumsi makanan atau belanja barang justru meningkat selama bulan Ramadhan. Saya mengambil contoh data dari Dinas Pertanian Kota Padang dalam sebuah berita sebelum bulan Ramadhan tahun kemarin, yang menyatakan kebutuhan beras masyarakat di Kota Padang, Sumatera Barat, mengalami kenaikan sekitar 20 persen memasuki Ramadhan hingga hari raya Idul Fitri 1437 Hijriah.

Kenaikan konsumsi beras, dan juga bahan pangan lainnya seperti ini tentunya tak hanya terjadi di Padang, tapi saya yakin hal serupa juga terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Jadinya kita tidak akan heran lagi jika setiap menjelang bulan Ramadhan yang disambung dengan lebaran selalu ada berita pemerintah bersiap siaga menjaga stabilitas dan ketersediaan kebutuhan pokok. Inilah yang menjadi kontradiksi dalam bulan Ramadhan di Indonesia.

Hakekatnya, bulan Ramadhan adalah saat dimana umat muslim bisa menjaga hawa nafsu, termasuk nafsu untuk makan dan belanja yang berlebihan. Meskipun ada yang berdalih bahwa mereka berbelanja banyak bahan makanan untuk berbuka puasa, ini juga aneh untuk sebuah aktivitas di bulan Ramadhan. Surah Al A'raf ayat 31 mengajarkan umat muslim untuk tidak berlebihan saat makanan, terlebih lagi di bulan Ramadhan.

Penyebab dari melonjaknya konsumsi dan belanja bahan makanan selama bulan Ramadhan sebagian besar karena pola konsumtif dan gaya hidup hedonis yang masih mewarnai masyarakat kita. Saat siang mungkin banyak yang sanggup menahan lapar, dahaga dan hawa nafsu lainnya.

Tapi perhatikanlah setelah adzan maghrib tiba. Ini adalah saatnya balas dendam dengan makan yang lebih mewah. Kelas warteg naik ke kafe. Yang kafe naik jadi kelas restoran. Yang kelas restoran pindah ke hidangan eksklusif koki hotel. Yang biasa di hotel mungkin plesir ke negeri jiran.

Anggaran terbesar yang keluar di bulan Ramadhan terjadi untuk ritual berbuka puasa. Seolah tidak afdhol jika tidak berbuka puasa dengan makan di luar rumah bersama teman-teman. Berbuka puasa rasanya kurang nikmat jika tidak ada menu makanan "tidak wajar" yang jarang kita konsumsi. Sekali dua kali tidak mengapa.

Tapi bagaimana jika "ritual" itu berlangsung selama satu bulan penuh? Bandingkan sendiri pengeluaran saat bulan Ramadhan dengan bulan-bulan lainnya. Saya yakin sebagian besar tahu kalau di bulan Ramadhan uang yang keluar justru lebih banyak. Dan sebagian besar habis untuk konsumsi makanan.

Gaya hidup hedon selama berpuasa inilah yang mendongkrak inflasi dan pada akhirnya membuat harga barang terutama bahan kebutuhan pokok menjadi tinggi.

Memang, tidak ada masalah dengan ritual sosial seperti buka bersama atau menikmati makanan-makanan khas yang cuma ada di bulan Ramadhan. Selama ritual tersebut diimbangi dengan pemahaman konteks berpuasa yang benar, yakni menahan nafsu. Dalam arti sederhana, tidak berlebihan kala mengonsumsi makanan saat waktu berbuka tiba dan juga tidak berlebihan saat berbelanja kebutuhan lainnya.

Seandainya kita bisa mengubah pola konsumtif dan gaya hidup hedon selama bulan Ramadhan, kita bisa membayangkan sendiri berapa banyak bahan makanan yang bisa kita hemat selama satu bulan. Jika kesadaran ini bisa dilakukan secara kolektif, akan terjadi surplus bahan pangan sehingga pemerintah tidak perlu pusing untuk mengimpor bahan pangan dari luar.

Selain itu, dengan kesadaran kolektif akan makna hakiki dari ibadah puasa, maka bulan Ramadhan bisa menjadi momentum dan menimbulkan efek besar bagi ekonomi kita dimana tingkat inflansi bisa ditekan menurun yang pada akhirnya menjaga stabilitas harga-harga bahan pokok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun